[الْبَابُ الْأَوَّلُ: فَضْلُ الْعَقْلِ وَذَمُّ الْهَوَى] [فَضْلُ الْعَقْلِ]
اعْلَمْ أَنَّ لِكُلِّ فَضِيلَةٍ أُسًّا، وَلِكُلِّ أَدَبٍ يَنْبُوعًا، وَأُسُّ الْفَضَائِلِ وَيَنْبُوعُ الْآدَابِ هُوَ الْعَقْلُ الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِلدِّينِ أَصْلًا وَلِلدُّنْيَا عِمَادًا، فَأَوْجَبَ الدِّينَ بِكَمَالِهِ وَجَعَلَ الدُّنْيَا مُدَبَّرَةً بِأَحْكَامِهِ. وَأَلَّفَ بِهِ بَيْنَ خَلْقِهِ مَعَ اخْتِلَافِ هِمَمِهِمْ وَمَآرِبِهِمْ، وَتَبَايُنِ أَغْرَاضِهِمْ وَمَقَاصِدِهِمْ. وَجَعَلَ مَا تَعَبَّدَهُمْ بِهِ قِسْمَيْنِ: قِسْمًا وَجَبَ بِالْعَقْلِ فَوَكَّدَهُ الشَّرْعُ، وَقِسْمًا جَازَ فِي الْعَقْلِ فَأَوْجَبَهُ الشَّرْعُ، فَكَانَ الْعَقْلُ لَهُمَا عِمَادًا
[Bab Pertama: Keutamaan Akal dan Kecelaan Hawa Nafsu] [Keutamaan Akal]
Ketahuilah bahwa setiap keutamaan memiliki fondasi, dan setiap etika memiliki sumbernya. Fondasi dari segala keutamaan dan sumber dari segala etika adalah akal, yang Allah Ta’ala jadikan sebagai dasar bagi agama dan tiang penopang bagi dunia. Dengan akal, Allah mewajibkan agama secara sempurna dan menjadikan dunia teratur berdasarkan hukum-hukum-Nya. Akal juga menyatukan makhluk-Nya meskipun mereka memiliki ambisi, tujuan, keinginan, dan maksud yang berbeda-beda.
Allah membagi apa yang diwajibkan kepada manusia menjadi dua bagian:
- Bagian yang wajib berdasarkan akal, yang kemudian ditegaskan oleh syariat.
- Bagian yang mungkin dipahami oleh akal, tetapi diwajibkan oleh syariat.
Dengan demikian, akal menjadi tiang penopang bagi keduanya (agama dan dunia).
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: مَا اكْتَسَبَ الْمَرْءُ مِثْلَ عَقْلٍ يَهْدِي صَاحِبَهُ إِلَى هُدًى، أَوْ يَرُدُّهُ عَنْ رَدًى
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: لِكُلِّ شَيْءٍ عُمِلَ دِعَامَةٌ، وَدِعَامَةُ عَمَلِ الْمَرْءِ عَقْلُهُ، فَبِقَدْرِ عَقْلِهِ تَكُونُ عِبَادَتُهُ لِرَبِّهِ. أَمَا سَمِعْتُمْ قَوْلَ الْفُجَّارِ: {لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ} [الملك: ١٠]
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seseorang daripada akal yang dapat membimbingnya menuju petunjuk atau mencegahnya dari kebinasaan.”
Juga diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setiap perbuatan memiliki tiang penopang, dan tiang penopang perbuatan seseorang adalah akalnya. Sesuai dengan kadar akalnya, demikianlah ibadahnya kepada Tuhannya. Tidakkah kalian mendengar perkataan orang-orang yang durhaka: ‘Seandainya kami mendengar atau memahami, niscaya kami tidak akan termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala’ (QS. Al-Mulk: 10)?”
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَصْلُ الرَّجُلِ عَقْلُهُ، وَحَسَبُهُ دِينُهُ، وَمُرُوءَتُهُ خُلُقُهُ
وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: مَا اسْتَوْدَعَ اللَّهُ أَحَدًا عَقْلًا إِلَّا اسْتَنْقَذَهُ بِهِ يَوْمًا مَا
وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الْعَقْلُ أَفْضَلُ مَرْجُوٍّ، وَالْجَهْلُ أَنْكَى عَدُوٍّ
وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: صَدِيقُ كُلِّ امْرِئٍ عَقْلُهُ وَعَدُوُّهُ جَهْلُهُ
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dasar seorang manusia adalah akalnya, kemuliaannya adalah agamanya, dan kehormatannya adalah akhlaknya.”
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Tidaklah Allah menitipkan akal kepada seseorang kecuali Dia akan menyelamatkannya melalui akal tersebut suatu hari nanti.”
Sebagian ahli hikmah berkata: “Akal adalah harapan terbaik, dan kebodohan adalah musuh paling berbahaya.”
Sebagian sastrawan berkata: “Teman setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya.”
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: خَيْرُ الْمَوَاهِبِ الْعَقْلُ، وَشَرُّ الْمَصَائِبِ الْجَهْلُ
:وَقَالَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ، وَهُوَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَسَّانَ
يَزِينُ الْفَتَى فِي النَّاسِ صِحَّةُ عَقْلِهِ … وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا عَلَيْهِ مَكَاسِبُهْ
يَشِينُ الْفَتَى فِي النَّاسِ قِلَّةُ عَقْلِهِ … وَإِنْ كَرُمَتْ أَعْرَاقُهُ وَمَنَاسِبُهْ
Sebagian ahli balaghah (sastra) berkata: “Anugerah terbaik adalah akal, dan bencana terburuk adalah kebodohan.”
Seorang penyair, yaitu Ibrahim bin Hassan, berkata:
“Kecerdasan yang sehat menghiasi seseorang di mata manusia, meskipun ia tidak memiliki banyak pencapaian. Sedikitnya akal mencela seseorang di mata manusia, meskipun ia berasal dari keturunan mulia dan memiliki hubungan yang terhormat.”
***
يَعِيشُ الْفَتَى بِالْعَقْلِ فِي النَّاسِ إِنَّهُ … عَلَى الْعَقْلِ يَجْرِي عِلْمُهُ وَتَجَارِبُهْ
“Seorang pemuda hidup di tengah manusia berkat akalnya, karena ilmu dan pengalamannya bergantung pada akalnya.”
وَأَفْضَلُ قَسْمِ اللَّهِ لِلْمَرْءِ عَقْلُهُ … فَلَيْسَ مِنَ الْأَشْيَاءِ شَيْءٌ يُقَارِبُهْ
“Anugerah terbaik dari Allah bagi seseorang adalah akalnya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menandinginya.”
إِذَا أَكْمَلَ الرَّحْمَنُ لِلْمَرْءِ عَقْلَهُ … فَقَدْ كَمُلَتْ أَخْلَاقُهُ وَمَآرِبُهْ
“Jika Allah Yang Maha Pengasih menyempurnakan akal seseorang, maka sempurnalah akhlak dan tujuan-tujuannya.”
وَاعْلَمْ أَنَّ بِالْعَقْلِ تُعْرَفُ حَقَائِقُ الْأُمُورِ وَيُفْصَلُ بَيْنَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ
“Ketahuilah bahwa dengan akal, hakikat segala sesuatu dapat diketahui, dan perbedaan antara kebaikan dan keburukan dapat ditentukan.”
***
وَقَدْ يَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ: غَرِيزِيٍّ وَمُكْتَسَبٍ
فَالْغَرِيزِيُّ هُوَ الْعَقْلُ الْحَقِيقِيُّ. وَلَهُ حَدٌّ يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّكْلِيفُ، لَا يُجَاوِزُهُ إِلَى زِيَادَةٍ وَلَا يَقْصُرُ عَنْهُ إِلَى نُقْصَانٍ. وَبِهِ يَمْتَازُ الْإِنْسَانُ عَنْ سَائِرِ الْحَيَوَانِ، فَإِذَا تَمَّ فِي الْإِنْسَانِ سُمِّيَ عَاقِلًا، وَخَرَجَ بِهِ إِلَى حَدِّ الْكَمَالِ، كَمَا قَالَ صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الْقُدُّوسِ
إِذَا تَمَّ عَقْلُ الْمَرْءِ تَمَّتْ أُمُورُهُ … وَتَمَّتْ أَمَانِيهِ وَتَمَّ بِنَاؤُهُ
Akal dapat dibagi menjadi dua jenis: akal bawaan (gharīzī) dan akal yang diperoleh (muktasab).
Akal bawaan adalah akal yang hakiki. Akal ini memiliki batas tertentu yang menjadi dasar tanggung jawab syariat, tidak melampaui batas itu menuju penambahan, dan tidak pula kurang dari batas itu menuju pengurangan. Dengan akal inilah manusia dibedakan dari makhluk hidup lainnya. Jika akal ini sempurna pada diri seseorang, maka ia disebut sebagai orang yang berakal, dan ia mencapai tingkat kesempurnaan, sebagaimana dikatakan oleh Shālih bin Abdul Quddūs:
“Jika akal seseorang telah sempurna, maka segala urusannya pun akan sempurna, harapannya tercapai, dan kehidupannya terbangun dengan kokoh.”
وَرَوَى الضَّحَّاكُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {لِيُنْذَرَ مَنْ كَانَ حَيًّا} [يس: ٧٠] أَيْ مَنْ كَانَ عَاقِلًا. وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ وَفِي صِفَتِهِ عَلَى مَذَاهِبَ شَتَّى. فَقَالَ قَوْمٌ: هُوَ جَوْهَرٌ لَطِيفٌ يُفْصَلُ بِهِ بَيْنَ حَقَائِقِ الْمَعْلُومَاتِ. وَمَنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ اخْتَلَفُوا فِي مَحَلِّهِ. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ: مَحَلُّهُ الدِّمَاغُ؛ لِأَنَّ الدِّمَاغَ مَحَلُّ الْحِسِّ
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى مِنْهُمْ: مَحَلُّهُ الْقَلْبُ؛ لِأَنَّ الْقَلْبَ مَعْدِنُ الْحَيَاةِ وَمَادَّةُ الْحَوَاسِّ
Ad-Dahhāk meriwayatkan tentang firman Allah Ta’ala: “Agar diberi peringatan orang yang hidup (berakal)” (QS. Yāsīn: 70), yakni orang yang berakal. Manusia berbeda pendapat mengenai hakikat akal dan sifatnya, dengan berbagai pandangan yang beragam.
Sebagian orang berkata: “Akal adalah substansi halus yang digunakan untuk membedakan antara hakikat-hakikat dari hal-hal yang diketahui.” Mereka yang berpendapat demikian kemudian berselisih tentang tempat akal berada.
Sebagian kelompok di antara mereka mengatakan bahwa tempat akal adalah otak, karena otak adalah pusat indera.
Sementara kelompok lainnya mengatakan bahwa tempat akal adalah hati, karena hati adalah sumber kehidupan dan asal dari semua indera.
وَهَذَا الْقَوْلُ فِي الْعَقْلِ بِأَنَّهُ جَوْهَرٌ لَطِيفٌ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
أَحَدِهِمَا: إِنَّ الْجَوَاهِرَ مُتَمَاثِلَةٌ، فَلَا يَصِحُّ أَنْ يُوجِبَ بَعْضُهَا مَا لَا يُوجِبُ سَائِرُهَا
وَلَوْ أَوْجَبَ سَائِرُهَا مَا يُوجِبُ بَعْضُهَا لَاسْتَغْنَى الْعَاقِلُ بِوُجُودِ نَفْسِهِ عَنْ وُجُودِ عَقْلِهِ
وَالثَّانِي: أَنَّ الْجَوْهَرَ يَصِحُّ قِيَامُهُ بِذَاتِهِ
Pernyataan bahwa akal adalah substansi halus adalah pendapat yang keliru dari dua sudut pandang:
Pertama, substansi-substansi itu serupa satu sama lain, sehingga tidak mungkin sebagian dari substansi tersebut menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dihasilkan oleh substansi lainnya. Jika semua substansi memiliki kemampuan yang dimiliki oleh sebagiannya, maka orang yang berakal akan cukup dengan keberadaan dirinya sendiri tanpa memerlukan keberadaan akalnya.
Kedua, substansi dapat berdiri sendiri secara mandiri (tidak bergantung pada sesuatu yang lain).
فَلَوْ كَانَ الْعَقْلُ جَوْهَرًا لَجَازَ أَنْ يَكُونَ عَقْلٌ بِغَيْرِ عَاقِلٍ، كَمَا جَازَ أَنْ يَكُونَ جِسْمٌ بِغَيْرِ عَقْلٍ، فَامْتَنَعَ بِهَذَيْنِ أَنْ يَكُونَ الْعَقْلُ جَوْهَرًا
وَقَالَ آخَرُونَ: الْعَقْلُ هُوَ الْمُدْرِكُ لِلْأَشْيَاءِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ مِنْ حَقَائِقِ الْمَعْنَى
وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ أَقْرَبَ مِمَّا قَبْلَهُ، فَبَعِيدٌ مِنَ الصَّوَابِ مِنْ وَجْهٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّ الْإِدْرَاكَ مِنْ صِفَاتِ الْحَيِّ، وَالْعَقْلُ عَرَضٌ يَسْتَحِيلُ ذَلِكَ مِنْهُ، كَمَا يَسْتَحِيلُ أَنْ يَكُونَ مُتَلَذِّذًا أَوْ آلِمًا أَوْ مُشْتَهِيًا
Jika akal adalah substansi, maka mungkin ada akal tanpa orang yang berakal, sama seperti mungkin ada tubuh tanpa akal. Namun, kedua hal ini tidak mungkin terjadi, sehingga akal tidak dapat dianggap sebagai substansi.
Sebagian lain berkata: “Akal adalah sesuatu yang mampu memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu hakikat dari makna-makna.”
Meskipun pernyataan ini lebih dekat daripada yang sebelumnya, tetap saja jauh dari kebenaran dalam satu hal, yaitu bahwa pemahaman (idrāk) adalah salah satu sifat dari makhluk hidup, sedangkan akal adalah sifat tambahan (‘aradl) yang tidak mungkin memiliki sifat tersebut, sama seperti mustahil bagi akal untuk merasakan kenikmatan, rasa sakit, atau keinginan.
قَالَ آخَرُونَ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ: الْعَقْلُ هُوَ جُمْلَةُ عُلُومٍ ضَرُورِيَّةٍ. وَهَذَا الْحَدُّ غَيْرُ مَحْصُورٍ لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الْإِجْمَالِ، وَيَتَأَوَّلُهُ مِنَ الِاحْتِمَالِ. وَالْحَدُّ إنَّمَا هُوَ بَيَانُ الْمَحْدُودِ بِمَا يَنْفِي عَنْهُ الْإِجْمَالَ وَالِاحْتِمَالَ
وَقَالَ آخَرُونَ، وَهُوَ الْقَوْلُ الصَّحِيحُ: إنَّ الْعَقْلَ هُوَ الْعِلْمُ بِالْمُدْرَكَاتِ الضَّرُورِيَّةِ. وَذَلِكَ نَوْعَانِ
أَحَدُهُمَا: مَا وَقَعَ عَنْ دَرَكِ الْحَوَاسِّ
وَالثَّانِي: مَا كَانَ مُبْتَدِئًا فِي النُّفُوسِ
Sebagian ahli kalam (teologi) lainnya berkata: “Akal adalah keseluruhan pengetahuan yang bersifat pasti (dharūrī).” Namun, definisi ini tidak terbatas karena mengandung sifat umum (ijmāl) dan kemungkinan interpretasi ganda (iḥtimāl). Definisi seharusnya menjelaskan sesuatu secara spesifik dengan cara yang menghilangkan keumuman dan keraguan.
Sebagian lainnya berpendapat, dan inilah pandangan yang benar: “Akal adalah pengetahuan tentang hal-hal yang dapat dipahami secara pasti (mudrikāt dharūrīyah).” Hal-hal tersebut terbagi menjadi dua jenis:
- Pengetahuan yang berasal dari persepsi indera.
- Pengetahuan yang muncul secara langsung dalam jiwa (tanpa perantara indera).
فَأَمَّا مَا كَانَ وَاقِعًا عَنْ دَرَكِ الْحَوَاسِّ فَمِثْلُ الْمَرْئِيَّاتِ الْمُدْرَكَةِ بِالنَّظَرِ، وَالْأَصْوَاتِ الْمُدْرَكَةِ بِالسَّمْعِ، وَالطُّعُومِ الْمُدْرَكَةِ بِالذَّوْقِ، وَالرَّوَائِحِ الْمُدْرَكَةِ بِالشَّمِّ، وَالْأَجْسَامِ الْمُدْرَكَةِ بِاللَّمْسِ
فَإِذَا كَانَ الْإِنْسَانُ مِمَّنْ لَوْ أَدْرَكَ بِحَوَاسِّهِ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ ثَبَتَ لَهُ هَذَا النَّوْعُ مِنَ الْعِلْمِ؛ لِأَنَّ خُرُوجَهُ فِي حَالِ تَغْمِيضِ عَيْنَيْهِ مِنْ أَنْ يُدْرِكَ بِهِمَا وَيَعْلَمَ لَا يُخْرِجُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ كَامِلَ الْعَقْلِ مِنْ حَيْثُ عُلِمَ مِنْ حَالِهِ أَنَّهُ لَوْ أَدْرَكَ لَعَلِمَ
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi indera, contohnya adalah:
- Objek-objek yang terlihat, yang dipahami melalui penglihatan.
- Suara-suara, yang dipahami melalui pendengaran.
- Rasa makanan, yang dipahami melalui pengecapan.
- Aroma, yang dipahami melalui penciuman.
- Benda-benda fisik, yang dipahami melalui sentuhan.
Jika seseorang memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal ini melalui inderanya, maka jenis pengetahuan ini akan tetap melekat padanya. Karena, meskipun ia menutup matanya dan tidak menggunakan penglihatannya untuk memahami sesuatu pada saat itu, hal tersebut tidak berarti bahwa ia kehilangan akal yang sempurna. Sebab, dari kondisinya dapat diketahui bahwa jika ia menggunakan inderanya, ia pasti akan memahami hal tersebut.
وَأَمَّا مَا كَانَ مُبْتَدِئًا فِي النُّفُوسِ فَكَالْعِلْمِ بِأَنَّ الشَّيْءَ لَا يَخْلُو مِنْ وُجُودٍ أَوْ عَدَمٍ، وَأَنَّ الْمَوْجُودَ لَا يَخْلُو مِنْ حُدُوثٍ أَوْ قِدَمٍ، وَأَنَّ مِنْ الْمُحَالِ اجْتِمَاعَ الضِّدَّيْنِ، وَأَنَّ الْوَاحِدَ أَقَلُّ مِنْ الِاثْنَيْنِ. وَهَذَا النَّوْعُ مِنْ الْعِلْمِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنْ الْعَاقِلِ مَعَ سَلَامَةِ حَالِهِ، وَكَمَالِ عَقْلِهِ. فَإِذَا صَارَ عَالِمًا بِالْمُدْرَكَاتِ الضَّرُورِيَّةِ مِنْ هَذَيْنِ النَّوْعَيْنِ فَهُوَ كَامِلُ الْعَقْلِ، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ تَشْبِيهًا بِعَقْلِ النَّاقَةِ؛ لِأَنَّ الْعَقْلَ يَمْنَعُ الْإِنْسَانَ مِنْ الْإِقْدَامِ عَلَى شَهَوَاتِهِ إذَا قَبُحَتْ، كَمَا يَمْنَعُ الْعَقْلُ النَّاقَةَ مِنْ الشُّرُودِ إذَا نَفَرَتْ
Adapun pengetahuan yang muncul secara langsung dalam jiwa, contohnya adalah:
- Pengetahuan bahwa sesuatu tidak mungkin lepas dari ada atau tidak ada.
- Bahwa sesuatu yang ada tidak mungkin lepas dari sifat baru terjadi atau sudah ada sejak dahulu.
- Bahwa mustahil bagi dua hal yang bertentangan untuk berkumpul bersama (seperti panas dan dingin secara bersamaan).
- Bahwa satu lebih kecil dari dua.
Jenis pengetahuan ini tidak mungkin hilang dari seseorang yang berakal selama kondisinya baik dan akalnya sempurna. Jika seseorang telah mengetahui hal-hal yang pasti (mudrikāt dharūrīyah) dari kedua jenis pengetahuan ini, maka ia disebut memiliki akal yang sempurna. Ia dinamakan demikian sebagai perumpamaan dengan “akal unta” (pengikat unta), karena akal manusia mencegahnya dari melakukan tindakan yang mengikuti hawa nafsunya ketika hal itu buruk, sama seperti pengikat unta yang mencegah unta dari lari saat ia gelisah.
وَلِذَلِكَ قَالَ عَامِرُ بْنُ قَيْسٍ: إذَا عَقْلُك عَقَلَك عَمَّا لَا يَنْبَغِي فَأَنْتَ عَاقِلٌ. وَقَدْ جَاءَتْ السُّنَّةُ بِمَا يُؤَيِّدُ هَذَا الْقَوْلَ فِي الْعَقْلِ، وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْعَقْلُ نُورٌ فِي الْقَلْبِ يُفَرِّقُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ». وَكُلُّ مَنْ نَفَى أَنْ يَكُونَ الْعَقْلُ جَوْهَرًا أَثْبَتَ مَحَلَّهُ فِي الْقَلْبِ؛ لِأَنَّ الْقَلْبَ مَحَلُّ الْعُلُومِ كُلِّهَا. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
Oleh karena itu, ‘Amir bin Qais berkata: “Jika akalmu menahanmu dari hal-hal yang tidak pantas dilakukan, maka engkau adalah orang yang berakal.”
Hadis Nabi Muhammad ﷺ juga mendukung pandangan ini tentang akal. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Akal adalah cahaya di dalam hati yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan.”
Setiap orang yang menolak bahwa akal adalah substansi (jawhar), mereka tetap menetapkan tempatnya berada di dalam hati, karena hati adalah tempat semua ilmu pengetahuan. Allah Ta’ala berfirman:
{أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا} [الحج: ٤٦]
فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى أَمْرَيْنِ
أَحَدِهِمَا: أَنَّ الْعَقْلَ عِلْمٌ، وَالثَّانِي: أَنَّ مَحَلَّهُ الْقَلْبُ. وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {يَعْقِلُونَ بِهَا} [الحج: ٤٦]، تَأْوِيلَانِ: أَحَدُهُمَا: يَعْلَمُونَ بِهَا، وَالثَّانِي: يَعْتَبِرُونَ بِهَا. فَهَذِهِ جُمْلَةُ الْقَوْلِ فِي الْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ
وَأَمَّا الْعَقْلُ الْمُكْتَسَبُ فَهُوَ نَتِيجَةُ الْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ، وَهُوَ نِهَايَةُ الْمَعْرِفَةِ، وَصِحَّةُ السِّيَاسَةِ، وَإِصَابَةُ الْفِكْرَةِ. وَلَيْسَ لِهَذَا حَدٌّ؛ لِأَنَّهُ يَنْمُو إِنْ اُسْتُعْمِلَ، وَيَنْقُصُ إِنْ أُهْمِلَ. وَنَمَاؤُهُ يَكُونُ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا بِكَثْرَةِ الِاسْتِعْمَالِ إِذَا لَمْ يُعَارِضْهُ مَانِعٌ مِنْ هَوًى وَلَا صَادٌّ مِنْ شَهْوَةٍ، كَالَّذِي يَحْصُلُ لِذَوِي الْأَسْنَانِ مِنَ الْحُنْكَةِ وَصِحَّةِ الرَّوِيَّةِ بِكَثْرَةِ التَّجَارِبِ وَمُمَارَسَةِ الْأُمُورِ. وَلِذَلِكَ حَمِدَتِ الْعَرَبُ آرَاءَ الشُّيُوخِ حَتَّى قَالَ بَعْضُهُمْ: الْمَشَايِخُ أَشْجَارُ الْوَقَارِ، وَمَنَاجِعُ الْأَخْبَارِ، لَا يَطِيشُ لَهُمْ سَهْمٌ، وَلَا يَسْقُطُ لَهُمْ وَهْمٌ، إِنْ رَأَوْكَ فِي قَبِيحٍ صَدُّوكَ، وَإِنْ أَبْصَرُوكَ عَلَى جَمِيلٍ أَمَدُّوكَ
وَقِيلَ: عَلَيْكُمْ بِآرَاءِ الشُّيُوخِ، فَإِنَّهُمْ إِنْ فَقَدُوا ذَكَاءَ الطَّبْعِ فَقَدْ مَرَّتْ عَلَى عُيُونِهِمْ وُجُوهُ الْعِبْرِ، وَتَصَدَّتْ لِأَسْمَاعِهِمْ آثَارُ الْغَيْرِ
وَقِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: مَنْ طَالَ عُمُرُهُ نَقَصَتْ قُوَّةُ بَدَنِهِ وَزَادَتْ قُوَّةُ عَقْلِهِ. وَقِيلَ فِيهِ: لَا تَدَعُ الْأَيَّامُ جَاهِلًا إِلَّا أَدَّبَتْهُ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: كَفَى بِالتَّجَارِبِ تَأَدُّبًا وَبِتَقَلُّبِ الْأَيَّامِ عِظَةً. وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: التَّجْرِبَةُ مِرْآةُ الْعَقْلِ، وَالْغِرَّةُ ثَمَرَةُ الْجَهْلِ
وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: كَفَى مُخَبِّرًا عَمَّا بَقِيَ مَا مَضَى، وَكَفَى عِبَرًا لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا جَرَّبُوا
Ayat ini menunjukkan dua hal:
- Bahwa akal adalah pengetahuan.
- Bahwa tempatnya berada di hati. Dalam firman Allah Ta’ala: “Mereka memahami dengan itu” (QS. Al-Hajj: 46).
Ada dua interpretasi:
Yang pertama: mereka mengetahui melalui itu.
Yang kedua: mereka merenungkan melalui itu.
Inilah ringkasan pembahasan tentang akal bawaan (gharīzī).
Adapun akal yang diperoleh (muktasab), ia adalah hasil dari akal bawaan, dan merupakan puncak dari pengetahuan, kebijaksanaan dalam kepemimpinan, serta ketepatan dalam berpikir. Akal ini tidak memiliki batas tertentu, karena ia bertambah jika digunakan dan berkurang jika diabaikan. Pertumbuhannya terjadi melalui salah satu dari dua cara:
Melalui penggunaan yang sering, asalkan tidak terhalang oleh hawa nafsu atau godaan syahwat, seperti yang diperoleh oleh orang-orang tua berupa kedewasaan pikiran dan kemampuan untuk merenung dengan baik melalui banyaknya pengalaman dan praktik dalam menghadapi berbagai situasi.
Oleh karena itu, bangsa Arab memuji pandangan para tetua hingga salah seorang dari mereka berkata: “Para tetua adalah pohon-pohon keseriusan, sumber-sumber nasihat. Panah mereka tidak meleset, dan dugaan mereka tidak jatuh. Jika mereka melihatmu melakukan sesuatu yang buruk, mereka akan mencegahmu; jika mereka melihatmu melakukan sesuatu yang baik, mereka akan mendukungmu.”
Dikatakan: “Ikutilah pandangan para tetua, karena meskipun mereka mungkin kehilangan kecerdasan alami, mereka telah menyaksikan pelajaran-pelajaran penting melalui mata mereka dan mendengar jejak-jejak perubahan melalui telinga mereka.”
Dalam pepatah bijak disebutkan: “Barang siapa yang panjang umurnya, maka kekuatan fisiknya berkurang, tetapi kekuatan akalnya bertambah.” Juga dikatakan: “Hari-hari tidak meninggalkan orang bodoh kecuali setelah memberinya pelajaran.” Salah seorang bijak berkata: “Cukuplah pengalaman sebagai pendidikan, dan cukuplah pergantian hari-hari sebagai peringatan.” Salah seorang sastrawan berkata: “Pengalaman adalah cermin akal, dan kebodohan adalah buah dari kepicikan.”
Seorang ahli sastra berkata: “Cukuplah masa lalu sebagai pemberi informasi tentang apa yang tersisa, dan cukuplah pengalaman sebagai pelajaran bagi orang-orang berakal.”
وَقَالَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ
أَلَمْ تَرَ أَنَّ الْعَقْلَ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ … وَلَكِنْ تَمَامُ الْعَقْلِ طُولُ التَّجَارِبِ
Sebagian penyair berkata:
“Tidakkah engkau melihat bahwa akal adalah hiasan bagi pemiliknya? Namun, kesempurnaan akal adalah panjangnya pengalaman.”
وَقَالَ آخَرُ
إِذَا طَالَ عُمْرُ الْمَرْءِ فِي غَيْرِ آفَةٍ … أَفَادَتْ لَهُ الْأَيَّامُ فِي كَرِّهَا عَقْلَا
Penyair lain berkata:
“Jika umur seseorang bertambah tanpa diiringi penyakit (gangguan), hari-hari akan memberinya akal melalui pergantian waktu yang terus berputar.”
وَأَمَّا الْوَجْهُ الثَّانِي فَقَدْ يَكُونُ بِفَرْطِ الذَّكَاءِ وَحُسْنِ الْفِطْنَةِ. وَذَلِكَ جَوْدَةُ الْحَدْسِ فِي زَمَانٍ غَيْرِ مُهْمِلٍ لِلْحَدْسِ، فَإِذَا امْتَزَجَ بِالْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ صَارَتْ نَتِيجَتُهُمَا نُمُوَّ الْعَقْلِ الْمُكْتَسَبِ كَاَلَّذِي يَكُونُ فِي الْأَحْدَاثِ مِنْ وُفُورِ الْعَقْلِ وَجَوْدَةِ الرَّأْيِ
Adapun aspek kedua, ia dapat diperoleh melalui kecerdasan yang luar biasa dan ketajaman intuisi. Hal ini adalah kemampuan untuk membuat tebakan yang tepat dalam situasi yang tidak mengabaikan pentingnya intuisi. Ketika hal ini bercampur dengan akal bawaan, hasilnya adalah pertumbuhan akal yang diperoleh, seperti yang tampak dalam peristiwa-peristiwa kehidupan, berupa kelimpahan akal dan kualitas pandangan.
حَتَّى قَالَ هَرِمُ بْنُ قُطْبَةَ حِينَ تَنَافَرَ إلَيْهِ عَامِرُ بْنُ الطُّفَيْلِ وَعَلْقَمَةُ بْنُ عُلَاثَةَ: عَلَيْكُمْ بِالْحَدِيثِ السِّنِّ، الْحَدِيدِ الذِّهْنِ. وَلَعَلَّ هَرِمًا أَرَادَ أَنْ يَدْفَعَهُمَا عَنْ نَفْسِهِ فَاعْتَذَرَ بِمَا قَالَ. لَكِنْ لَمْ يُنْكِرَا قَوْلَهُ إذْعَانًا لِلْحَقِّ، فَصَارَا إلَى أَبِي جَهْلٍ لِحَدَاثَةِ سِنِّهِ، وَحِدَّةِ ذِهْنِهِ، فَأَبَى أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمَا، فَرَجَعَا إلَى هَرِمٍ فَحَكَمَ بَيْنَهُمَا
Hingga suatu ketika Harim bin Qutbah berkata ketika ‘Amir bin Thufail dan ‘Alqamah bin ‘Ullathah datang kepadanya untuk meminta keputusan: “Pergilah kepada orang yang lebih muda usianya namun tajam pikirannya.” Barangkali Harim ingin menolak mereka dengan alasan tersebut sebagai bentuk permintaan maaf. Namun, mereka berdua tidak menyangkal ucapannya karena mengakui kebenarannya. Mereka kemudian mendatangi Abu Jahal, karena usianya yang lebih muda dan ketajaman pikirannya. Namun, Abu Jahal menolak untuk memberikan keputusan di antara mereka. Akhirnya, mereka kembali kepada Harim, dan dia pun memberikan keputusan di antara mereka.
وَفِيهِ قَالَ لَبِيدٌ
يَا هَرِمُ ابْنَ الْأَكْرَمِينَ مَنْصِبًا … إِنَّكَ قَدْ أُوتِيتَ حُكْمًا مُعْجِبًا
وَقَدْ قَالَتِ الْعَرَبُ: عَلَيْكُمْ بِمُشَاوَرَةِ الشَّبَابِ، فَإِنَّهُمْ يُنْتِجُونَ رَأْيًا لَمْ يَنَلْهُ طُولُ الْقِدَمِ، وَلَا اسْتَوْلَتْ عَلَيْهِ رُطُوبَةُ الْهَرِمِ
وَقَدْ قَالَ الشَّاعِرُ
رَأَيْتُ الْعَقْلَ لَمْ يَكُنِ انْتِهَابًا … وَلَمْ يُقْسَمْ عَلَى عَدَدِ السِّنِينَا
وَلَوْ أَنَّ السِّنِينَ تَقَاسَمَتْهُ … حَوَى الْآبَاءُ أَنْصِبَةَ الْبَنِينَا
وَحَكَى الْأَصْمَعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ: قُلْتُ لِغُلَامٍ حَدَثٍ مِنْ أَوْلَادِ الْعَرَبِ كَانَ يُحَادِثُنِي فَأَمْتَعَنِي بِفَصَاحَةٍ وَمَلَاحَةٍ: أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونَ لَكَ مِائَةُ أَلْفِ دِرْهَمٍ، وَأَنْتَ أَحْمَقُ؟ قَالَ: لَا وَاللَّهِ. قَالَ: فَقُلْتُ: وَلِمَ؟ قَالَ: أَخَافُ أَنْ يَجْنِيَ عَلَيَّ حُمْقِي جِنَايَةً تَذْهَبُ بِمَالِي وَيَبْقَى عَلَيَّ حُمْقِي. فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الصَّبِيِّ كَيْفَ اسْتَخْرَجَ بِفَرْطِ ذَكَائِهِ، وَاسْتَنْبَطَ بِجَوْدَةِ قَرِيحَتِهِ مَا لَعَلَّهُ يَدِقُّ عَلَى مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْهُ سِنًّا، وَأَكْثَرُ تَجْرِبَةً
وَأَحْسَنُ مِنْ هَذَا الذَّكَاءِ وَالْفَطِنَةِ مَا حَكَى ابْنُ قُتَيْبَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَرَّ بِصِبْيَانٍ يَلْعَبُونَ وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، فَهَرَبُوا مِنْهُ إِلَّا عَبْدَ اللَّهِ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا لَكَ؟ لِمَ لَا تَهْرَبُ مَعَ أَصْحَابِكَ؟ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَمْ أَكُنْ عَلَى رِيبَةٍ فَأَخَافَكَ، وَلَمْ يَكُنِ الطَّرِيقُ ضَيِّقًا فَأُوَسِّعَ لَكَ. فَانْظُرْ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْجَوَابُ مِنَ الْفِطْنَةِ وَقُوَّةِ الْمِنَّةِ وَحُسْنِ الْبَدِيهَةِ. كَيْفَ نَفَى عَنْهُ اللَّوْمَ، وَأَثْبَتَ لَهُ الْحُجَّةَ. فَلَيْسَ لِلذَّكَاءِ غَايَةٌ، وَلَا لِجُودَةِ الْقَرِيحَةِ نِهَايَةٌ
Dalam hal ini, Labid berkata:
“Wahai Harim, anak dari orang-orang terhormat, sesungguhnya engkau telah diberi hikmah yang mengagumkan.”
Orang-orang Arab juga berkata: “Hendaklah kalian merundingkan masalah dengan pemuda, karena mereka dapat menghasilkan pandangan yang tidak dapat dicapai oleh lamanya usia, dan belum terpengaruh oleh kelemahan pikiran akibat tua.”
Seorang penyair berkata:
“Aku melihat bahwa akal bukanlah sesuatu yang bisa dirampas, dan tidak dibagi berdasarkan jumlah tahun. Jika saja tahun-tahun bisa membaginya, maka para ayah akan mendapatkan bagian anak-anak mereka.”
Al-Asma’i rahimahullah menceritakan: Aku bertanya kepada seorang pemuda Arab yang sedang berbicara denganku dengan fasih dan cerdas, “Apakah engkau senang jika memiliki seratus ribu dirham, tetapi engkau bodoh?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah.” Aku bertanya lagi, “Kenapa?” Dia berkata, “Aku takut kebodohanku akan membawa bencana yang menghabiskan hartaku, sementara kebodohanku tetap ada padaku.” Lihatlah bagaimana pemuda ini menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pikirannya, yang mungkin sulit dipahami oleh orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman.
Lebih indah lagi dari cerita ini adalah apa yang diceritakan oleh Ibnu Qutaibah tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, Umar melewati sekelompok anak-anak yang sedang bermain, termasuk di antaranya Abdullah bin Zubair. Ketika yang lain lari darinya, Abdullah tetap tinggal. Umar bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak lari bersama teman-temanmu?” Abdullah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak dalam keadaan mencurigaimu sehingga aku harus takut, dan jalan ini tidak sempit sehingga aku harus memberimu ruang.” Perhatikan jawaban ini yang penuh dengan kecerdasan, kekuatan argumen, dan kecepatan berpikir. Ia berhasil menolak celaan dan menegakkan alasan. Tidak ada batas bagi kecerdasan, dan tidak ada akhir bagi ketajaman pikiran.
وَحُكِيَ أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمَرَ الْفَرَزْدَقَ بِضَرْبِ أَعْنَاقِ أُسَارَى مِنَ الرُّومِ، فَاسْتَعْفَاهُ الْفَرَزْدَقُ فَلَمْ يَفْعَلْ. وَأَعْطَاهُ سَيْفًا لَا يَقْطَعُ شَيْئًا
فَقَالَ الْفَرَزْدَقُ: بَلْ أَضْرَبُهُمْ بِسَيْفِ أَبِي رَغْوَانَ مُجَاشِعِ، يَعْنِي سَيْفَ نَفْسِهِ. فَقَامَ فَضَرَبَ بِهِ عُنُقَ رُومِيٍّ مِنْهُمْ، فَنَبَا السَّيْفُ عَنْهُ. فَضَحِكَ سُلَيْمَانُ وَمَنْ حَوْلَهُ. فَقَالَ الْفَرَزْدَقُ
Diceritakan bahwa Sulaiman bin Abdul Malik memerintahkan Al-Farazdaq untuk memenggal leher para tawanan dari bangsa Romawi. Al-Farazdaq memohon agar ia diampuni dari tugas tersebut, tetapi Sulaiman menolak permohonannya. Kemudian Sulaiman memberikan sebuah pedang yang tidak dapat memotong apa pun kepada Al-Farazdaq.
Al-Farazdaq berkata, “Sebaliknya, aku akan memenggal mereka dengan pedang Abu Raghwan Mujash’i,” maksudnya pedang miliknya sendiri. Lalu ia berdiri dan memukulkan pedangnya ke leher salah satu tawanan Romawi itu, namun pedang itu tidak berhasil memotongnya.
Melihat kejadian itu, Sulaiman dan orang-orang di sekitarnya tertawa. Maka Al-Farazdaq berkata:
أَيَعْجَبُ النَّاسُ أَنْ أَضْحَكْتُ سَيِّدَهُمْ … خَلِيفَةَ اللَّهِ يُسْتَسْقَى بِهِ الْمَطَرُ
“Apakah manusia heran bahwa aku membuat pemimpin mereka tertawa,
Khalifah Allah, yang doanya digunakan untuk meminta hujan?”
لَمْ يَنْبُ سَيْفِي مِنْ رُعْبٍ وَلَا دَهَشٍ … عَنِ الْأَسِيرِ وَلَكِنْ أَخَّرَ الْقَدَرُ
“Pedangku tidak gagal karena rasa takut atau kebingungan
terhadap tawanan itu, tetapi takdir yang menundanya.”
وَلَنْ يُقَدِّمَ نَفْسًا قَبْلَ مِيتَتِهَا … جَمْعُ الْيَدَيْنِ وَلَا الصَّمْصَامَةُ الذَّكَرُ
“Tidak ada yang dapat mempercepat kematian seseorang sebelum waktunya, baik dengan kekuatan dua tangan maupun pedang yang tajam.”
ثُمَّ غَمَدَ سَيْفَهُ وَهُوَ يَقُولُ
Kemudian ia mengembalikan pedangnya ke sarung dan berkata:
مَا إنْ يُعَابُ سَيِّدٌ إذَا صَبَا … وَلَا يُعَابُ صَارِمٌ إذَا نَبَا
“Tidaklah seorang pemimpin dicela jika ia tertawa,
dan tidaklah sebuah pedang dicela jika ia gagal memotong.”
وَلَا يُعَابُ شَاعِرٌ إذَا كَبَا
“Dan tidaklah seorang penyair dicela jika ia tergelincir.”
Penjelasan:
- مَا إنْ يُعَابُ سَيِّدٌ إذَا صَبَا
Al-Farazdaq menegaskan bahwa seorang pemimpin (atau orang terhormat) tidak patut dicela jika ia melakukan sesuatu yang manusiawi, seperti tertawa. Tawa adalah reaksi alami dan bukan tanda kelemahan atau kesalahan. - وَلَا يُعَابُ صَارِمٌ إذَا نَبَا
Pedang yang gagal memotong tidak patut dicela, karena kegagalannya bukan disebabkan oleh cacat pada pedang itu sendiri, melainkan karena faktor lain, seperti takdir Allah. Ini juga menunjukkan bahwa Al-Farazdaq tidak merasa malu atas insiden tersebut, karena ia yakin bahwa semuanya berada di bawah kendali ilahi. - وَلَا يُعَابُ شَاعِرٌ إذَا كَبَا
Seorang penyair tidak patut dicela jika ia melakukan kesalahan atau “tergelincir” dalam kata-kata atau tindakannya. Ini adalah pengakuan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan, dan kesalahan tersebut tidak harus menjadi alasan untuk mencela.
ثُمَّ جَلَسَ وَهُوَ يَقُولُ: كَأَنَّ بِابْنِ الْمَرَاغَةِ قَدْ هَجَانِي فَقَالَ
Kemudian Al-Farazdaq duduk sambil berkata, “Seolah-olah Ibnu Al-Maraghah (Julukan untuk Jarir, seorang penyair saingannya) telah menyindirku,” lalu ia berkata:
بِسَيْفِ أَبِي رَغْوَانَ سَيْفِ مُجَاشِعٍ … ضَرَبْت وَلَمْ تَضْرِبْ بِسَيْفِ ابْنِ ظَالِمِ
“Dengan pedang Abu Raghwan, pedang Mujash’i (pedangnya sendiri),
Aku memukul, dan aku tidak memukul dengan pedang Ibnu Zhalim (maksudnya, pedang yang tidak tajam).”
ثُمَّ قَامَ فَانْصَرَفَ وَحَضَرَ جَرِيرٌ وَخُبِّرَ بِالْخَبَرِ وَلَمْ يُنْشَدْ لَهُ الشِّعْرُ فَأَنْشَأَ يَقُولُ
Kemudian Al-Farazdaq pergi, dan Jarir datang. Ia diberitahu tentang kejadian tersebut, tetapi syair Al-Farazdaq tidak dibacakan kepadanya. Maka Jarir pun mulai berkata:
بِسَيْفِ أَبِي رَغْوَانَ سَيْفِ مُجَاشِعٍ … ضَرَبْت وَلَمْ تَضْرِبْ بِسَيْفِ ابْنِ ظَالِمِ
“Dengan pedang Abu Raghwan, pedang Mujash’i,
Aku memukul, dan aku tidak memukul dengan pedang Ibnu Zhalim.”
ثُمَّ قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ كَأَنَّ بِابْنِ الْقَيْنِ وَقَدْ أَجَابَنِي فَقَالَ:
Lalu Jarir berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seolah-olah Ibnu Al-Qayn (julukan untuk Al-Farazdaq) telah menjawabku,” dan ia melanjutkan:
وَلَا نَقْتُلُ الْأَسْرَى وَلَكِنْ نَفُكُّهُمْ … إذَا أَثْقَلَ الْأَعْنَاقَ حَمْلُ الْمَغَارِمِ
“Dan kami tidak membunuh para tawanan, tetapi kami membebaskan mereka,
Jika beban tebusan menjadi terlalu berat bagi leher mereka.”
فَاسْتَحْسَنَ سُلَيْمَانُ حَدْسَ الْفَرَزْدَقِ عَلَى جَرِيرٍ ثُمَّ أَخْبَرَ الْفَرَزْدَقَ بِشِعْرِ جَرِيرٍ وَلَمْ يُخْبِرْهُ بِحَدْسِهِ فَقَالَ الْفَرَزْدَقُ:
Sulaiman bin Abdul Malik mengapresiasi intuisi Al-Farazdaq terhadap Jarir. Kemudian ia memberitahu Al-Farazdaq tentang syair Jarir, tetapi tidak memberitahunya tentang intuisinya. Maka Al-Farazdaq berkata:
كَذَاك سُيُوفُ الْهِنْدِ تَنْبُو ظُبَاتُهَا … وَتَقْطَعُ أَحْيَانًا مَنَاطَ التَّمَائِمِ
“Begitulah pedang-pedang India, kadang-kadang mata pisaunya gagal memotong,
Namun terkadang juga mampu memutus tali jimat.”
وَلَنْ نَقْتُلَ الْأَسْرَى وَلَكِنْ نَفُكُّهُمْ … إذَا أَثْقَلَ الْأَعْنَاقَ حَمْلُ الْمَغَارِمِ
“Dan kami tidak akan membunuh para tawanan, tetapi kami akan membebaskan mereka,
Jika beban tebusan menjadi terlalu berat bagi leher mereka.”
Penjelasan:
Interaksi antara Al-Farazdaq dan Jarir
Ketika Al-Farazdaq meninggalkan tempat itu, Jarir datang dan mendengar cerita tentang apa yang terjadi. Meskipun syair Al-Farazdaq tidak dibacakan kepadanya, Jarir secara spontan membuat syair yang hampir identik dengan yang diucapkan Al-Farazdaq. Ini menunjukkan bahwa Jarir memiliki intuisi yang kuat tentang apa yang dikatakan lawannya, meskipun ia tidak mendengarnya secara langsung.
Syair Al-Farazdaq dan Jarir
Keduanya menggunakan ungkapan yang sama: “بِسَيْفِ أَبِي رَغْوَانَ سَيْفِ مُجَاشِعٍ” (Dengan pedang Abu Raghwan, pedang Mujash’i). Ini adalah cara mereka saling menegaskan identitas diri sebagai penyair besar yang memiliki kebanggaan pada senjata atau simbol pribadi mereka.
Namun, ada perbedaan dalam pendekatan mereka. Al-Farazdaq lebih fokus pada pembelaan diri dan penegasan bahwa kegagalan pedangnya bukan karena kesalahannya, melainkan karena takdir. Sementara itu, Jarir lebih menekankan sikap kemanusiaan dengan menyebut bahwa tawanan tidak seharusnya dibunuh, tetapi dibebaskan jika beban tebusan terlalu berat.
Respon Sulaiman bin Abdul Malik:
Khalifah Sulaiman mengapresiasi kemampuan Al-Farazdaq untuk “merasakan” apa yang akan dikatakan Jarir, meskipun ia tidak hadir saat itu. Ini menunjukkan bahwa Al-Farazdaq memiliki intuisi yang sangat tajam terhadap pikiran dan tindakan lawannya.
Akhir dari Interaksi:
Ketika Al-Farazdaq diberitahu tentang syair Jarir, ia merespons dengan syair yang menggambarkan sifat pedang secara umum (“Pedang India kadang gagal, kadang berhasil”). Ini adalah cara halus untuk menunjukkan bahwa kegagalan pedangnya bukanlah sesuatu yang aneh atau memalukan.
Ia juga mengulangi gagasan Jarir tentang membebaskan tawanan, menunjukkan bahwa ia setuju dengan prinsip kemanusiaan ini.
وَهَلْ ضَرْبَةُ الرُّومِيِّ جَاعِلَةٌ لَكُمْ … أَبًا عَنْ كُلَيْبٍ أَوْ أَخًا مِثْلَ دَارِمِ
Apakah pukulan terhadap tawanan Romawi itu akan memberikan kepada kalian
Seorang ayah pengganti Kulayb, atau seorang saudara seperti Darim?
Syair ini mengandung sindiran halus dari Al-Farazdaq kepada Jarir. Dalam konteks, Al-Farazdaq menegaskan bahwa tindakan memukul tawanan Romawi dengan pedang tidak memiliki nilai atau manfaat yang signifikan, bahkan tidak dapat menggantikan kehilangan seseorang yang berharga, seperti seorang ayah atau saudara.
أَبًا عَنْ كُلَيْبٍ
Ini merujuk pada Kulayb, nama seorang tokoh terkenal dalam sejarah Arab pra-Islam yang menjadi simbol kehormatan dan kepahlawanan. Frasa ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak akan menggantikan sosok sebesar Kulayb.
أَوْ أَخًا مِثْلَ دَارِمِ
Darim adalah nama lain yang melambangkan keberanian dan kedekatan persaudaraan. Dengan menyebut Darim, Al-Farazdaq menegaskan bahwa tindakan itu juga tidak akan menghasilkan hubungan persaudaraan yang bermakna.
Konteks Sindiran:
Dalam dialog ini, Al-Farazdaq tampaknya ingin mengecilkan pentingnya tindakan yang dilakukan Jarir (atau dirinya sendiri) dalam insiden pemenggalan tawanan. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut hanyalah formalitas tanpa makna mendalam, dan tidak akan menggantikan kehilangan orang-orang terkasih atau menciptakan ikatan emosional yang berarti.
Sindiran ini juga bisa dimaknai sebagai bentuk ejekan halus terhadap Jarir, karena Jarir mungkin mencoba menyaingi atau menandingi reputasi Al-Farazdaq sebagai penyair besar. Dengan kata lain, Al-Farazdaq menyiratkan bahwa apa yang dilakukan Jarir (membuat syair serupa) tidak lebih dari sekadar tiruan tanpa substansi.
Kesimpulan:
Syair ini mencerminkan kecerdasan dan kefasihan Al-Farazdaq dalam menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pesan yang mendalam namun tetap elegan. Ia berhasil menyampaikan kritik atau sindiran tanpa terkesan kasar, sekaligus menunjukkan superioritasnya dalam seni berbicara dan berpuitis.
SELANJUTNYA: https://shamela.ws/book/765/10#p1
وَهَلْ ضَرْبَةُ الرُّومِيِّ جَاعِلَةٌ لَكُمْ … أَبًا عَنْ كُلَيْبٍ أَوْ أَخًا مِثْلَ دَارِمِ
Apakah pukulan terhadap tawanan Romawi itu akan memberikan kepada kalian,
Seorang ayah pengganti Kulayb, atau seorang saudara seperti Darim?
Penjelasan:
Makna Umum:
Dalam bait ini, Al-Farazdaq menyindir lawannya, Jarir, dengan menekankan bahwa tindakan memukul atau membunuh tawanan Romawi tidak memiliki nilai yang berarti. Bahkan, tindakan tersebut tidak akan menggantikan kehilangan orang-orang yang sangat berharga, seperti sosok seorang ayah (seperti Kulayb) atau saudara (seperti Darim). Ini adalah cara halus untuk merendahkan pentingnya tindakan yang dilakukan Jarir.
Simbolisme “Kulayb” dan “Darim”:
Kulayb: Merujuk pada tokoh legendaris dalam sejarah Arab pra-Islam, yang dikenal sebagai simbol kehormatan, kepahlawanan, dan martabat. Kulayb adalah nama yang sering dikaitkan dengan cerita-cerita besar tentang keberanian dan loyalitas.
Darim: Nama ini juga melambangkan sifat-sifat mulia, terutama persaudaraan dan keberanian. Dengan menyebut Darim, Al-Farazdaq menegaskan bahwa tindakan terhadap tawanan Romawi tidak akan menghasilkan hubungan emosional yang bermakna atau menciptakan ikatan persaudaraan.
***
فَشَاعَ حَدِيثُ الْفَرَزْدَقِ بِهَذَا حَتَّى حُكِيَ أَنَّ الْمَهْدِيَّ أَتَى بِأَسْرَى مِنَ الرُّومِ فَأَمَرَ بِقَتْلِهِمْ وَكَانَ عِنْدَهُ شَبِيبُ بْنُ شَيْبَةَ فَقَالَ لَهُ: اضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْعِلْجِ.
Kisah Al-Farazdaq tentang insiden pemenggalan tawanan Romawi menjadi sangat terkenal hingga diceritakan bahwa suatu ketika, Al-Mahdi (khalifah Abbasiyah) membawa sekelompok tawanan Romawi dan memerintahkan untuk membunuh mereka. Saat itu, Syabib bin Syaybah berada di sana, dan Al-Mahdi berkata kepadanya, “Penggal leher tawanan Romawi ini.”
فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْت مَا اُبْتُلِيَ بِهِ الْفَرَزْدَقُ فَعُيِّرَ بِهِ قَوْمٌ إلَى الْيَوْمِ.
Syabib menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, engkau tentu mengetahui apa yang dialami oleh Al-Farazdaq, bagaimana ia dilecehkan karena peristiwa tersebut hingga hari ini.”
Syabib merujuk pada kisah Al-Farazdaq yang gagal memenggal tawanan Romawi dengan pedangnya, yang kemudian menjadi bahan ejekan bagi lawan-lawannya, seperti Jarir. Ia khawatir akan mengalami nasib serupa jika melakukan hal yang sama.
فَقَالَ: إنَّمَا أَرَدْت تَشْرِيفَك وَقَدْ أَعْفَيْتُك.
Al-Mahdi kemudian berkata, “Aku hanya ingin memberikan penghormatan kepadamu (dengan memberikan tanggung jawab ini), tetapi aku telah membebaskanmu dari tugas ini.”
Al-Mahdi memahami kekhawatiran Syabib dan tidak memaksanya untuk melaksanakan perintah tersebut.
وَكَانَ أَبُو الْهَوْلِ الشَّاعِرُ حَاضِرًا فَقَالَ
Saat itu, Abu Al-Hawl, seorang penyair, sedang hadir dan berkomentar:
جَزِعْت مِنَ الرُّومِيِّ وَهُوَ مُقَيَّدٌ … فَكَيْفَ وَلَوْ لَاقَيْتَهُ وَهُوَ مُطْلَقُ
“Engkau takut pada tawanan Romawi yang terikat,
Lalu bagaimana jika engkau bertemu dengannya dalam keadaan bebas?”
دَعَاك أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ لِقَتْلِهِ … فَكَادَ شَبِيبٌ عِنْدَ ذَلِكَ يَفْرَقُ
“Amirul Mukminin memanggilmu untuk membunuhnya,
Namun Syabib hampir-hampir gemetar ketakutan.”
تَنَحَّ شَبِيبًا عَنْ قِرَاعِ كَتِيبَةٍ … وَادْنُ شَبِيبًا مِنْ كَلَامٍ يُلَفَّقُ
“Mundurlah, wahai Syabib, dari pertempuran pasukan,
Dan dekatlah, wahai Syabib, kepada kata-kata yang indah (syair).”
Penjelasan:
Syabib bin Syaybah dan Keberatannya:
Syabib bin Syaybah menolak untuk melaksanakan perintah membunuh tawanan Romawi karena ia ingat kisah Al-Farazdaq, yang menjadi bahan ejekan setelah gagal memenggal tawanan. Ia khawatir akan mendapat malu serupa jika mengalami kegagalan atau situasi memalukan.
Respon Al-Mahdi:
Al-Mahdi memahami kekhawatiran Syabib dan tidak memaksanya untuk melaksanakan tugas tersebut. Sebagai gantinya, ia menyatakan bahwa niatnya adalah untuk memberikan penghormatan kepada Syabib, bukan untuk mempermalukannya.
Syair Abu Al-Hawl:
Abu Al-Hawl, sebagai penyair, menggunakan kesempatan ini untuk menyindir Syabib. Ia mengejek kepengecutan Syabib yang takut menghadapi seorang tawanan Romawi yang terikat, apalagi jika tawanan itu dalam keadaan bebas. Abu Al-Hawl juga menyarankan agar Syabib lebih cocok berurusan dengan kata-kata (syair) daripada terlibat dalam pertempuran fisik.
Makna Sindiran Abu Al-Hawl:
جَزِعْت مِنَ الرُّومِيِّ وَهُوَ مُقَيَّدٌ Ini adalah sindiran langsung terhadap ketakutan Syabib, yang dianggap tidak pantas karena tawanan sudah terikat dan tidak berdaya.
تَنَحَّ شَبِيبًا عَنْ قِرَاعِ كَتِيبَةٍ Abu Al-Hawl menyarankan agar Syabib menjauh dari medan pertempuran karena ia tidak memiliki keberanian untuk menghadapi musuh.
وَادْنُ شَبِيبًا مِنْ كَلَامٍ يُلَفَّقُ Ia menyarankan agar Syabib fokus pada seni berbicara atau syair, yang dianggap lebih sesuai dengan kemampuannya.
وَلَيْسَ الْعَجَبُ مِنْ كَلَامِ الْفَرَزْدَقِ إنْ صَحَّ مِنْ جَوْدَةِ الْقَرِيحَتَيْنِ وَلَكِنْ مِنْ اتِّفَاقِ الْخَاطِرَيْنِ
Keajaiban bukan terletak pada kata-kata Al-Farazdaq, jika memang ia memiliki kecerdasan dan ketajaman pikiran yang luar biasa, tetapi yang lebih menakjubkan adalah keselarasan antara dua pemikiran (antara Al-Farazdaq dan Jarir) yang begitu seirama meskipun mereka berdua saling bersaing.
وَلِمِثْلِ ذَلِكَ قَالَتْ الْحُكَمَاءُ: آيَةُ الْعَقْلِ سُرْعَةُ الْفَهْمِ، وَغَايَتُهُ إصَابَةُ الْوَهْمِ، وَلَيْسَ لِمَنْ مُنِحَ جَوْدَةُ الْقَرِيحَةِ وَسُرْعَةُ الْخَاطِرِ عَجْزٌ عَنْ جَوَابٍ وَإِنْ أُعْضِلَ
Para bijak berkata: “Tanda dari akal adalah kecepatan dalam memahami sesuatu, dan puncaknya adalah kemampuan untuk menghasilkan dugaan atau jawaban yang tepat. Tidak ada kelemahan bagi orang yang diberi anugerah kecerdasan pikiran dan kecepatan berpikir dalam memberikan jawaban, meskipun pertanyaannya sangat sulit.”
كَمَا قِيلَ لِعَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: كَيْفَ يُحَاسِبُ اللَّهُ الْعِبَادَ عَلَى كَثْرَةِ عَدَدِهِمْ؟ قَالَ: كَمَا يَرْزُقُهُمْ عَلَى كَثْرَةِ عَدَدِهِمْ
Sebagai contoh, seseorang pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
“Bagaimana Allah menghitung amal hamba-Nya yang jumlahnya sangat banyak?”
Beliau menjawab dengan singkat namun mendalam:
“Sebagaimana Dia memberi rezeki kepada mereka meskipun jumlah mereka sangat banyak.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa jika Allah mampu memberi rezeki kepada semua makhluk-Nya tanpa kesulitan, maka tidak ada alasan bagi-Nya untuk mengalami kesulitan dalam menghitung amal mereka.
وَقِيلَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَيْنَ تَذْهَبُ الْأَرْوَاحُ إذَا فَارَقَتْ الْأَجْسَادَ؟ قَالَ: أَيْنَ تَذْهَبُ نَارُ الْمَصَابِيحِ عِنْدَ فَنَاءِ الْأَدْهَانِ؟
Seseorang juga pernah bertanya kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Ke mana arwah pergi ketika meninggalkan tubuh?”
Beliau menjawab dengan analogi yang brilian:
“Ke mana api lampu pergi ketika minyaknya habis?”
Pertanyaan ini dijawab dengan cara yang menyiratkan bahwa arwah, seperti api lampu, kembali kepada Allah yang menciptakannya, dan manusia tidak dapat sepenuhnya memahami proses ini karena keterbatasan pengetahuan mereka.
وَهَذَانِ الْجَوَابَانِ جَوَابَا إسْكَاتٍ تَضَمَّنَا دَلِيلَيْ إذْعَانٍ وَحُجَّتَيْ قَهْرٍ
Kedua jawaban ini adalah jawaban yang membuat lawan bicara terdiam (jawaban yang meyakinkan). Keduanya mengandung bukti yang membuat orang menerima kebenaran (dalil i’dzan) dan argumen yang tak terbantahkan (hujjah qahr).
وَمِنْ غَيْرِ هَذَا الْفَنِّ وَإِنْ كَانَ مُسْكِتًا مَا حُكِيَ عَنْ إبْلِيسَ – لَعَنَهُ اللَّهُ – أَنَّهُ حِينَ ظَهَرَ لِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – فَقَالَ: أَلَسْت تَقُولُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَك إلَّا مَا كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْك؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَارْمِ نَفْسَك مِنْ ذُرْوَةِ هَذَا الْجَبَلِ فَإِنَّهُ إنْ يُقَدِّرْ لَك السَّلَامَةَ تَسْلَمْ
Di luar jenis jawaban sebelumnya, meskipun tetap merupakan jawaban yang meyakinkan (muskita), ada kisah yang diriwayatkan tentang Iblis – semoga Allah melaknatnya. Suatu ketika, Iblis muncul di hadapan Isa bin Maryam ‘alaihis salam dan berkata kepadanya:
“Apakah engkau tidak mengatakan bahwa tidak akan menimpamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu?”
Isa menjawab: “Ya.”
Iblis berkata: “Kalau begitu, lemparkan dirimu dari puncak gunung ini. Jika Allah menetapkan keselamatan bagimu, maka engkau akan selamat.”
فَقَالَ لَهُ: يَا مَلْعُونُ إنَّ لِلَّهِ أَنْ يَخْتَبِرَ عِبَادَهُ وَلَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَخْتَبِرَ رَبَّهُ
Isa ‘alaihis salam kemudian menjawab dengan tegas:
“Wahai makhluk terlaknat, sesungguhnya Allah berhak menguji hamba-hamba-Nya, tetapi seorang hamba tidak berhak menguji Tuhannya.”
Jawaban ini adalah bentuk penolakan yang cerdas terhadap godaan Iblis. Isa menegaskan bahwa manusia harus tunduk kepada kehendak Allah tanpa mencoba “menguji” atau mempertanyakan keputusan-Nya.
وَمِثْلُ هَذَا الْجَوَابِ لَا يُسْتَغْرَبُ مِنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ تَعَالَى الَّذِينَ أَمَدَّهُمْ بِوَحْيِهِ، وَأَيَّدَهُمْ بِنَصْرِهِ، وَإِنَّمَا يُسْتَغْرَبُ مِمَّنْ يَلْجَأُ إلَى خَاطِرِهِ وَيُعَوِّلُ عَلَى بَدِيهَتِهِ
Jawaban seperti ini tidaklah mengherankan jika datang dari para nabi Allah, karena mereka diberi bantuan oleh wahyu-Nya dan didukung oleh pertolongan-Nya. Namun, hal ini menjadi luar biasa jika datang dari seseorang yang hanya mengandalkan pemikirannya sendiri atau bergantung pada spontanitas dan kecerdasan bawaannya.
وَرَوَى قُثَمُ بْنُ الْعَبَّاسِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ: قِيلَ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: كَمْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ؟ قَالَ: دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ
Qutsaim bin Al-‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
“Berapa jarak antara langit dan bumi?”
Beliau menjawab dengan singkat namun mendalam:
“Sejauh doa yang dikabulkan.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa jarak antara langit dan bumi tidak dapat diukur secara fisik oleh manusia, tetapi Allah mendengar dan mengabulkan doa hamba-Nya seolah-olah tidak ada jarak sama sekali.
قِيلَ: فَكَمْ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ؟ قَالَ: مَسِيرَةُ يَوْمٍ لِلشَّمْسِ
Kemudian orang itu melanjutkan pertanyaannya:
“Berapa jarak antara timur dan barat?”
Ali menjawab:
“Perjalanan satu hari bagi matahari.”
Ini adalah jawaban yang sangat cerdas, karena Ali menggunakan bahasa yang mudah dipahami, yaitu pergerakan matahari sebagai acuan untuk menggambarkan jarak tersebut.
فَكَانَ هَذَا السُّؤَالُ مِنْ سَائِلِهِ إمَّا اخْتِبَارًا، وَإِمَّا اسْتِبْصَارًا، فَصَدَرَ عَنْهُ مِنْ الْجَوَابِ مَا أَسْكَتَ
Pertanyaan ini mungkin diajukan oleh penanya untuk menguji (ekhtibār) pengetahuan Ali atau untuk memperoleh pencerahan (istibsār). Namun, jawaban yang diberikan oleh Ali begitu tepat dan meyakinkan sehingga membuat penanya terdiam (muskitan).
فَأَمَّا إذَا اجْتَمَعَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ فِي الْعَقْلِ الْمُكْتَسَبِ وَهُوَ مَا يُنَمِّيهِ فَرْطُ الذَّكَاءِ بِجَوْدَةِ الْحَدْسِ وَصِحَّةِ الْقَرِيحَةِ بِحُسْنِ الْبَدِيهَةِ، مَعَ مَا يُنَمِّيه الِاسْتِعْمَالُ بِطُولِ التَّجَارِبِ وَمُرُورِ الزَّمَانِ بِكَثْرَةِ الِاخْتِبَارِ، فَهُوَ الْعَقْلُ الْكَامِلُ عَلَى الْإِطْلَاقِ فِي الرَّجُلِ الْفَاضِلِ الِاسْتِحْقَاقِ
Adapun jika kedua aspek ini bertemu dalam akal yang diperoleh (al-‘aql al-muktasab), yaitu akal yang dikembangkan oleh kecerdasan luar biasa melalui ketajaman intuisi dan kejelasan pikiran dengan spontanitas yang baik, serta dipupuk oleh pengalaman panjang, ujian berulang, dan pergantian waktu, maka itulah akal yang sempurna secara mutlak pada seseorang yang memiliki kemuliaan dan kelayakan.
رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: أُثْنِيَ عَلَى رَجُلٍ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِخَيْرٍ فَقَالَ: كَيْفَ عَقْلُهُ؟
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dipuji di hadapan Rasulullah ﷺ dengan segala kebaikan. Maka Rasulullah ﷺ bertanya:
“Bagaimana akalnya?”
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ مِنْ عِبَادَتِهِ، إنَّ مِنْ خُلُقِهِ، إنَّ مِنْ فَضْلِهِ، إنَّ مِنْ أَدَبِهِ
Mereka menjawab:
“Wahai Rasulullah, dia adalah seorang yang rajin beribadah, berakhlak mulia, memiliki banyak keutamaan, dan berbudi pekerti luhur.”
فَقَالَ: كَيْفَ عَقْلُهُ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ نُثْنِي عَلَيْهِ بِالْعِبَادَةِ، وَأَصْنَافِ الْخَيْرِ وَتَسْأَلُنَا عَنْ عَقْلِهِ؟
Rasulullah ﷺ kembali bertanya:
“Bagaimana akalnya?”
Mereka berkata:
“Wahai Rasulullah, kami memujinya karena ibadahnya dan berbagai macam kebaikannya, tetapi engkau malah menanyakan tentang akalnya?”
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إنَّ الْأَحْمَقَ الْعَابِدَ يُصِيبُ بِجَهْلِهِ أَعْظَمَ مِنْ فُجُورِ الْفَاجِرِ وَإِنَّمَا يَقْرَبُ النَّاسُ مِنْ رَبِّهِمْ بِالزُّلَفِ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya orang bodoh yang rajin beribadah dapat melakukan kesalahan yang lebih besar daripada kefasikan orang yang fajir (jahat) karena kebodohannya. Sesungguhnya manusia mendekat kepada Tuhannya dengan amalan-amalan kebaikan sesuai dengan kadar akal mereka.”
وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْعَقْلِ الْمُكْتَسَبِ إذَا تَنَاهَى وَزَادَ هَلْ يَكُونُ فَضِيلَةً أَمْ لَا فَقَالَ قَوْمٌ: لَا يَكُونُ فَضِيلَةً؛ لِأَنَّ الْفَضَائِلَ هَيْئَاتٌ مُتَوَسِّطَةٌ بَيْنَ فَضِيلَتَيْنِ نَاقِصَتَيْنِ، كَمَا أَنَّ الْخَيْرَ تَوَسُّطٌ بَيْنَ رَذِيلَتَيْنِ فَمَا جَاوَزَ التَّوَسُّطَ خَرَجَ عَنْ حَدِّ الْفَضِيلَةِ
Orang-orang berbeda pendapat mengenai akal yang diperoleh (al-‘aql al-muktasab) ketika mencapai puncaknya dan bertambah, apakah hal itu merupakan keutamaan atau tidak. Sebagian orang berkata: “Itu bukanlah keutamaan, karena keutamaan adalah kondisi tengah antara dua sifat yang kurang sempurna. Seperti halnya kebaikan adalah titik tengah antara dua keburukan. Apa pun yang melewati titik tengah tersebut telah keluar dari batasan keutamaan.”
وَقَدْ قَالَتْ الْحُكَمَاءُ لِلْإِسْكَنْدَرِ: أَيُّهَا الْمَلِكُ عَلَيْك بِالِاعْتِدَالِ فِي كُلِّ الْأُمُورِ، فَإِنَّ الزِّيَادَةَ عَيْبٌ وَالنُّقْصَانَ عَجْزٌ
Para bijak pernah berkata kepada Iskandar (Alexander the Great):
“Wahai Raja, hendaklah engkau menjaga keseimbangan dalam segala urusan, karena kelebihan adalah cacat, dan kekurangan adalah kelemahan.”
Ini menunjukkan bahwa keutamaan sesungguhnya terletak pada keseimbangan, bukan pada ekstremitas.
هَذَا مَعَ مَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: خَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَاطُهَا
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ, yang bersabda:
“Sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah-tengahnya.”
Hadis ini menegaskan pentingnya keseimbangan dalam segala aspek kehidupan.
وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: خَيْرُ الْأُمُورِ النَّمَطُ الْأَوْسَطُ، إلَيْهِ يَرْجِعُ الْعَالِي، وَمِنْهُ يَلْحَقُ التَّالِي
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
“Sebaik-baik perkara adalah jalan tengah. Kepada jalan tengah itulah yang tinggi akan kembali, dan darinya yang rendah akan menyusul.”
قَالَ الشَّاعِرُ: لَا تَذْهَبَنَّ فِي الْأُمُورِ فَرَطَا … لَا تَسْأَلَنَّ إنْ سَأَلْت شَطَطَا وَكُنْ مِنْ النَّاسِ جَمِيعًا وَسَطَا
Seorang penyair berkata:
“Janganlah engkau melampaui batas dalam urusan apa pun,
Dan janganlah engkau meminta sesuatu yang berlebihan jika engkau bertanya. Jadilah di tengah-tengah manusia.”
قَالُوا: لِأَنَّ زِيَادَةَ الْعَقْلِ تُفْضِي بِصَاحِبِهَا إلَى الدَّهَاءِ وَالْمَكْرِ وَذَلِكَ مَذْمُومٌ وَصَاحِبُهُ مَلُومٌ
Mereka berkata: “Karena penambahan akal yang berlebihan dapat membawa pemiliknya kepada sifat licik dan tipu daya, dan hal itu tercela serta pelakunya patut dicela.”
Ini menunjukkan bahwa kecerdasan yang melewati batas keseimbangan bisa mengarah pada perilaku yang tidak etis, seperti manipulasi atau kecurangan, yang bertentangan dengan nilai-nilai moral.
وَقَدْ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ أَنْ يَعْزِلَ زِيَادًا عَنْ وِلَايَتِهِ فَقَالَ زِيَادٌ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَعَنْ مُوجِدَةٍ أَوْ خِيَانَةٍ؟
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari untuk mencopot Ziyad dari jabatannya sebagai gubernur. Ziyad kemudian bertanya:
“Wahai Amirul Mukminin, apakah ini karena dendam atau pengkhianatan?”
فَقَالَ: لَا عَنْ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، وَلَكِنْ خِفْت أَنْ أَحْمِلَ عَلَى النَّاسِ فَضْلَ عَقْلِك.
Umar menjawab:
“Bukan karena salah satu dari keduanya (dendam atau pengkhianatan), tetapi aku khawatir bahwa aku akan memberatkan manusia dengan kelebihan akalmu.”
Umar radhiyallahu ‘anhu menyadari bahwa Ziyad adalah orang yang sangat cerdas dan mungkin menggunakan kecerdasannya secara berlebihan, sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan atau beban bagi masyarakat. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mencopot Ziyad demi menjaga keseimbangan dan keadilan.
وَلِأَجْلِ هَذَا الْمَحْكِيِّ عَنْ عُمَرَ مَا قِيلَ قَدِيمًا: إفْرَاطُ الْعَقْلِ مُضِرٌّ بِالْجَسَدِ
Berkaitan dengan kisah yang diriwayatkan tentang Umar bin Khattab, ada pepatah lama yang mengatakan:
“Kelebihan akal yang berlebihan dapat merugikan tubuh.”
Ini menunjukkan bahwa terlalu banyak menggunakan akal atau kecerdasan secara ekstrem bisa membawa dampak negatif, baik secara fisik maupun mental.
وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: كَفَاك مِنْ عَقْلِك مَا دَلَّك عَلَى سَبِيلِ رُشْدِك
Sebagian bijak berkata:
“Cukuplah bagimu dari akalmu apa yang dapat menunjukkanmu kepada jalan yang benar.”
Artinya, seseorang tidak perlu mengejar akal yang berlebihan hingga melampaui batas, tetapi cukup memiliki pemahaman yang membimbingnya pada kebaikan dan kebenaran.
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: قَلِيلٌ يَكْفِي خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ يُطْغِي
Sebagian ahli sastra berkata:
“Sedikit yang mencukupi lebih baik daripada banyak yang melalaikan.”
Pernyataan ini menekankan pentingnya keseimbangan. Sedikit pengetahuan atau kecerdasan yang bermanfaat lebih baik daripada banyak pengetahuan yang malah menyebabkan kesombongan atau penyimpangan.
وَقَالَ آخَرُونَ، وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ: زِيَادَةُ الْعَقْلِ فَضِيلَةٌ؛ لِأَنَّ الْمُكْتَسَبَ غَيْرُ مَحْدُودٍ، وَإِنَّمَا تَكُونُ زِيَادَةُ الْفَضَائِلِ الْمَحْمُودَةِ نَقْصًا مَذْمُومًا؛ لِأَنَّ مَا جَاوَزَ الْحَدَّ لَا يُسَمَّى فَضِيلَةً
Ada pula yang berpendapat—dan inilah pendapat yang lebih kuat di antara kedua pandangan tersebut—bahwa penambahan akal adalah sebuah keutamaan. Hal ini karena akal yang diperoleh (al-‘aql al-muktasab) tidak memiliki batasan. Namun, penambahan pada sifat-sifat terpuji hanya menjadi cacat jika melewati batas, karena apa pun yang melampaui batas tidak lagi disebut sebagai keutamaan.
كَالشُّجَاعِ إذَا زَادَ عَلَى حَدِّ الشَّجَاعَةِ نُسِبَ إلَى التَّهَوُّرِ، وَالسَّخِيُّ إذَا زَادَ عَلَى حَدِّ السَّخَاءِ نُسِبَ إلَى التَّبْذِيرِ
Contohnya:
- Seorang yang pemberani, jika melewati batas keberanian, ia akan dianggap ceroboh (tahawwur).
- Seorang yang dermawan, jika melewati batas kedermawanan, ia akan dianggap pemboros (tabdzir).
Ini menunjukkan bahwa keutamaan apapun, jika dilakukan secara berlebihan, akan berubah menjadi cacat atau sifat tercela.
وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ الْعَقْلِ الْمُكْتَسَبِ؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِيهِ زِيَادَةُ عِلْمٍ بِالْأُمُورِ وَحُسْنُ إصَابَةٍ بِالظُّنُونِ وَمَعْرِفَةُ مَا لَمْ يَكُنْ إلَى مَا يَكُونُ، وَذَلِكَ فَضِيلَةٌ لَا نَقْصٌ
Namun, hal ini tidak berlaku untuk akal yang diperoleh (al-‘aql al-muktasab), karena penambahan pada akal adalah penambahan dalam ilmu tentang berbagai perkara, ketepatan dalam membuat dugaan (praduga yang baik), dan kemampuan untuk memahami apa yang belum terjadi hingga menjadi kenyataan. Semua itu adalah keutamaan, bukan kekurangan.
Penambahan akal tidak seperti sifat-sifat lain yang bisa menjadi cacat jika berlebihan. Sebaliknya, semakin banyak akal yang dimiliki seseorang, semakin ia mampu memahami dunia, mengambil keputusan yang bijaksana, dan merencanakan masa depan dengan lebih baik.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: أَفْضَلُ النَّاسِ أَعْقَلُ النَّاسِ
Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Manusia terbaik adalah orang yang paling berakal.”
Hadis ini menegaskan bahwa akal adalah salah satu ciri utama kesempurnaan manusia. Orang yang memiliki akal yang tinggi dianggap lebih unggul, karena akal membimbing seseorang kepada kebaikan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang mendalam.
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: الْعَقْلُ حَيْثُ كَانَ مَأْلُوفٌ
Juga diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Akal itu ada di mana pun ia ditemukan dengan baik.”
Makna hadis ini adalah bahwa akal tidak dibatasi oleh tempat atau situasi tertentu. Akal dapat berkembang dan bermanfaat di mana saja, selama digunakan dengan cara yang benar dan sesuai dengan tuntunan moral.
وَقَدْ قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ} [الإسراء: ٨٤] أَيْ بِحَسَبِ عَقْلِهِ
Telah dikatakan dalam penafsiran firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: ‘Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.’” (QS. Al-Isra’: 84)
Maknanya adalah bahwa setiap orang bertindak sesuai dengan akalnya. Tingkat pemahaman, kebijaksanaan, dan tindakan seseorang sangat dipengaruhi oleh kapasitas akal yang dimilikinya.
وَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ: كَانَتْ الْعَرَبُ تَقُولُ: مَنْ لَمْ يَكُنْ عَقْلُهُ أَغْلَبَ خِصَالِ الْخَيْرِ عَلَيْهِ، كَانَ حَتْفُهُ فِي أَغْلَبِ خِصَالِ الْخَيْرِ عَلَيْهِ
Al-Qasim bin Muhammad berkata:
“Orang-orang Arab dahulu biasa mengatakan: ‘Barangsiapa yang akalnya tidak mendominasi sifat-sifat kebaikan pada dirinya, maka kehancurannya akan datang dari sifat-sifat kebaikan yang mendominasi dirinya.’”
Makna dari ungkapan ini adalah bahwa jika seseorang tidak menggunakan akalnya untuk mengendalikan perilaku baiknya agar tetap seimbang, maka kelebihan dalam sifat-sifat baik tersebut justru dapat membawa kerugian. Misalnya, seseorang yang terlalu dermawan hingga menjadi boros, atau terlalu berani hingga menjadi ceroboh.
وَقِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: كُلُّ شَيْءٍ إذَا كَثُرَ رَخُصَ إلَّا الْعَقْلَ فَإِنَّهُ إذَا كَثُرَ غَلَا
Dalam kumpulan hikmah yang tersebar, ada ungkapan:
“Segala sesuatu, jika jumlahnya bertambah, maka nilainya akan menurun, kecuali akal. Jika akal bertambah, maka nilainya semakin tinggi.”
Ini menunjukkan bahwa akal adalah aset yang unik. Berbeda dengan harta atau hal-hal duniawi lainnya yang bisa kehilangan nilainya jika berlebihan, akal justru semakin berharga ketika dimiliki dalam jumlah yang lebih besar. Semakin banyak akal yang dimiliki seseorang, semakin ia dihormati dan dihargai karena kemampuan untuk memahami, berpikir, dan bertindak dengan bijaksana.
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: إنَّ الْعَاقِلَ مَنْ عَقْلُهُ فِي إرْشَادٍ، وَمَنْ رَأْيُهُ فِي إمْدَادٍ، فَقَوْلُهُ سَدِيدٌ، وَفِعْلُهُ حَمِيدٌ
Sebagian ahli sastra berkata:
“Orang yang berakal adalah orang yang akalnya membimbing kepada jalan yang benar, dan pandangannya selalu bertambah (dalam kebaikan). Ucapannya tepat, dan perbuatannya terpuji.”
Ini menunjukkan bahwa seorang yang berakal menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan membangun, serta senantiasa berusaha meningkatkan pemahaman dan wawasannya.
وَالْجَاهِلُ مَنْ جَهْلُهُ فِي إغْوَاءٍ، وَمَنْ هَوَاهُ فِي إغْرَاءٍ، فَقَوْلُهُ سَقِيمٌ، وَفِعْلُهُ ذَمِيمٌ
Adapun orang bodoh adalah orang yang kebodohannya menyesatkan, dan hawa nafsunya menggoda kepada keburukan. Ucapannya lemah (tidak bermanfaat), dan perbuatannya tercela.
Kebodohan tidak hanya berarti kurangnya pengetahuan, tetapi juga penggunaan akal yang salah arah, yaitu ketika seseorang mengikuti hawa nafsu dan melalaikan kebenaran.
وَأَنْشَدَنِي ابْنُ لَنْكَكَ لِأَبِيهِ: مَنْ لَمْ يَكُنْ أَكْثَرَ عَقْلَهُ … أَهْلَكَهُ أَكْثَرُ مَا فِيهِ
Ibnu Lankak membacakan kepada saya sebuah syair dari ayahnya:
“Barangsiapa yang tidak menjadikan akalnya sebagai bagian terbesar dari dirinya, maka bagian terbesar dari dirinya akan membinasakannya.”
Syair ini menekankan pentingnya mendominasi diri dengan akal. Jika seseorang tidak menggunakan akalnya untuk mengendalikan perilaku dan emosinya, maka dorongan-dorongan negatif dalam dirinya (seperti hawa nafsu atau kecerobohan) akan menghancurkannya.
فَأَمَّا الدَّهَاءُ وَالْمَكْرُ فَهُوَ مَذْمُومٌ؛ لِأَنَّ صَاحِبَهُ صَرَفَ فَضْلَ عَقْلِهِ إلَى الشَّرِّ وَلَوْ صَرَفَهُ إلَى الْخَيْرِ لَكَانَ مَحْمُودًا
Adapun sifat licik dan tipu daya itu tercela, karena pelakunya telah mengarahkan kelebihan akalnya kepada kejahatan. Seandainya ia menggunakannya untuk kebaikan, tentu ia akan dipuji.
Ini menunjukkan bahwa akal itu sendiri adalah alat netral. Nilai moralnya bergantung pada bagaimana seseorang menggunakannya. Jika digunakan untuk kebaikan, maka ia menjadi keutamaan. Namun, jika digunakan untuk keburukan, maka ia menjadi celaan.
وَقَدْ ذَكَرَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقَالَ: كَانَ وَاَللَّهِ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُخْدَعَ، وَأَعْقَلَ مِنْ أَنْ يُخْدَعَ
Al-Mughirah bin Syu’bah menyebutkan tentang Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan berkata:
“Demi Allah, beliau adalah orang yang terlalu mulia untuk diperdaya, dan terlalu berakal untuk diperdaya.”
Ini menunjukkan bahwa Umar memiliki kedudukan tinggi dalam hal kebijaksanaan dan kecerdasan, sehingga mustahil baginya untuk tertipu atau terjebak dalam tipu daya.
وَقَالَ عُمَرُ: لَسْتُ بِالْخِبِّ وَلَا يَخْدَعُنِي الْخِبُّ
Umar bin Al-Khattab sendiri pernah berkata:
“Aku bukanlah orang yang licik, dan orang licik tidak akan bisa menipuku.”
Pernyataan ini mencerminkan integritas dan kecerdasan Umar. Ia tidak menggunakan kecerdikannya untuk berbuat licik, namun ia juga cukup bijaksana untuk tidak mudah tertipu oleh orang lain.
وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِيمَنْ صَرَفَ فَضْلَ عَقْلِهِ إلَى الشَّرِّ كَزِيَادٍ، وَأَشْبَاهِهِ مِنْ الدُّهَاةِ، هَلْ يُسَمَّى الدَّاهِيَةُ مِنْهُمْ عَاقِلًا أَمْ لَا
Orang-orang berbeda pendapat mengenai seseorang seperti Ziyad dan orang-orang licik lainnya yang menggunakan kelebihan akal mereka untuk kejahatan. Apakah mereka yang tergolong sebagai “licik” (al-dahiyyah) dapat disebut sebagai orang yang berakal atau tidak?
- Di satu sisi, mereka memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk memanipulasi situasi demi keuntungan pribadi. Namun, karena mereka menggunakan akal tersebut untuk tujuan buruk, maka akal mereka menjadi alat kejahatan.
- Di sisi lain, akal yang sejati adalah yang digunakan untuk kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan. Oleh karena itu, meskipun mereka cerdas, mereka tidak layak disebut “berakal” dalam pengertian yang mulia.
Kesimpulannya, akal hanya dihargai jika digunakan untuk kebaikan. Jika digunakan untuk kejahatan, maka itu bukanlah bentuk dari kebijaksanaan yang sesungguhnya.
SELANJUTNYA: https://shamela.ws/book/765/13#p1
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أُسَمِّيهِ عَاقِلًا؛ لِوُجُودِ الْعَقْلِ مِنْهُ
Sebagian orang berkata:
“Aku menyebutnya berakal, karena ia memiliki akal.”
Mereka berpendapat bahwa kecerdasan atau kemampuan berpikir secara teknis sudah cukup untuk menyebut seseorang “berakal,” meskipun akal tersebut digunakan untuk hal-hal buruk.
وَقَالَ آخَرُونَ: لَا أُسَمِّيهِ عَاقِلًا حَتَّى يَكُونَ خَيِّرًا دَيِّنًا؛ لِأَنَّ الْخَيْرَ وَالدِّينَ مِنْ مُوجِبَاتِ الْعَقْلِ
Namun, sebagian yang lain berkata:
“Aku tidak akan menyebutnya berakal hingga ia menjadi orang yang baik dan bertakwa, karena kebaikan dan agama adalah konsekuensi dari akal.”
Menurut pandangan ini, akal yang sejati harus mencerminkan moralitas dan ketaatan kepada Allah. Jika seseorang cerdas tetapi tidak menggunakan akalnya untuk kebaikan atau ketaatan, maka ia tidak layak disebut berakal.
فَأَمَّا الشِّرِّيرُ فَلَا أُسَمِّيهِ عَاقِلًا وَإِنَّمَا أُسَمِّيهِ صَاحِبَ رَوِيَّةٍ وَفِكْرٍ
Adapun orang yang jahat, aku tidak akan menyebutnya berakal. Aku hanya akan menyebutnya sebagai orang yang memiliki perenungan (rawiyyah) dan pemikiran (fikr), tetapi bukan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk disebut akal. Akal yang sesungguhnya harus mencakup dimensi moral dan spiritual.
وَقَدْ قِيلَ: الْعَاقِلُ مَنْ عَقَلَ عَنْ اللَّهِ أَمْرَهُ وَنَهْيَهُ
Telah dikatakan:
“Orang yang berakal adalah orang yang memahami perintah dan larangan Allah.”
Akal yang sejati adalah yang digunakan untuk memahami dan mengikuti ajaran agama, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini menunjukkan bahwa akal tidak terpisah dari iman dan ketaatan kepada Allah.
حَتَّى قَالَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِيمَنْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِأَعْقَلِ النَّاسِ أَنَّهُ يَكُونُ مَصْرُوفًا فِي الزُّهَّادِ؛ لِأَنَّهُمْ انْقَادُوا لِلْعَقْلِ وَلَمْ يَغْتَرُّوا بِالْأَمَلِ
Bahkan, para pengikut Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata tentang seseorang yang mewasiatkan sepertiga hartanya untuk “orang yang paling berakal”:
“Harta itu harus diberikan kepada para zuhud, karena mereka telah tunduk kepada akal dan tidak tertipu oleh harapan kosong.”
Ini menunjukkan bahwa akal yang sejati tercermin dalam sikap zuhud (tidak rakus dunia) dan ketundukan kepada Allah. Orang yang berakal adalah mereka yang tidak terperdaya oleh godaan duniawi atau harapan palsu, melainkan fokus pada kehidupan akhirat.
وَرَوَى لُقْمَانُ بْنُ أَبِي عَامِرٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: يَا عُوَيْمِرُ ازْدَدْ عَقْلًا تَزْدَدْ مِنْ رَبِّك قُرْبًا
Lukman bin Abi ‘Amir meriwayatkan dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wahai ‘Uwaimir, tambahkanlah akalmu, maka engkau akan semakin dekat kepada Tuhanmu.”
قُلْت: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، وَمَنْ لِي بِالْعَقْلِ؟
Aku (‘Uwaimir) berkata:
“Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku bisa mendapatkan akal?”
قَالَ: اجْتَنِبْ مَحَارِمَ اللَّهِ، وَأَدِّ فَرَائِضَ اللَّهِ تَكُنْ عَاقِلًا
Rasulullah ﷺ menjawab:
“Jauhilah larangan-larangan Allah, dan tunaikanlah kewajiban-kewajiban Allah, maka engkau akan menjadi orang yang berakal.”
Ini menunjukkan bahwa akal yang sejati tercermin dalam ketaatan kepada Allah, yaitu dengan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
ثُمَّ تَنَفَّلَ بِصَالِحَاتِ الْأَعْمَالِ تَزْدَدْ فِي الدُّنْيَا عَقْلًا وَتَزْدَدْ مِنْ رَبِّك قُرْبًا وَبِهِ عِزًّا
Kemudian, lakukanlah amal-amal saleh secara sukarela (nafilah), maka engkau akan bertambah akal di dunia, semakin dekat kepada Tuhanmu, dan mendapatkan kemuliaan dari-Nya.”
Hadis ini menggambarkan hubungan erat antara akal, ketaatan, dan kedekatan kepada Allah. Akal tidak hanya tentang kecerdasan intelektual, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menggunakan pikirannya untuk meningkatkan kualitas ibadah dan amal salehnya. Semakin seseorang taat kepada Allah, semakin ia memiliki “akal” yang sejati, yang membimbingnya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
وَأَنْشَدَنِي بَعْضُ أَهْلِ الْأَدَبِ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ، وَذَكَرَ أَنَّهَا لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Sebagian ahli sastra membacakan kepada saya bait-bait berikut ini, dan mereka menyebutkan bahwa syair tersebut adalah karya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
إنَّ الْمَكَارِمَ أَخْلَاقٌ مُطَهَّرَةٌ … فَالْعَقْلُ أَوَّلُهَا وَالدِّينُ ثَانِيهَا
“Sesungguhnya kemuliaan adalah akhlak yang suci.
Akallah yang pertama, dan agama adalah yang kedua.”
Ini menunjukkan bahwa dasar dari kemuliaan adalah akhlak yang bersih, yang dimulai dengan akal untuk memahami kebenaran, diikuti oleh ketaatan kepada agama sebagai pedoman hidup.
وَالْعِلْمُ ثَالِثُهَا وَالْحِلْمُ رَابِعُهَا … وَالْجُودُ خَامِسُهَا وَالْعُرْفُ سَادِيهَا
“Ilmu adalah yang ketiga, dan kesabaran adalah yang keempat.
Kedermawanan adalah yang kelima, dan kebaikan adalah yang keenam.”
Ilmu diperlukan untuk memahami kebenaran, sementara kesabaran membantu menghadapi ujian hidup. Kedermawanan dan kebaikan mencerminkan sikap sosial yang mulia.
وَالْبِرُّ سَابِعُهَا وَالصَّبْرُ ثَامِنُهَا … وَالشُّكْرُ تَاسِعُهَا وَاللِّينُ عَاشِيهَا
“Berbuat baik adalah yang ketujuh, dan kesabaran adalah yang kedelapan.
Ucapan syukur adalah yang kesembilan, dan kelembutan adalah yang kesepuluh.”
Berbuat baik kepada sesama, sabar dalam menghadapi cobaan, bersyukur atas nikmat Allah, dan bersikap lembut adalah karakteristik orang yang berakhlak mulia.
وَالنَّفْسُ تَعْلَمُ أَنِّي لَا أُصَدِّقُهَا … وَلَسْت أَرْشُدُ إلَّا حِينَ أَعْصِيهَا
“Jiwa (nafs) tahu bahwa aku tidak mempercayainya,
Dan aku tidak akan mendapatkan petunjuk kecuali ketika aku melawan hawa nafsu.”
Ini menunjukkan pentingnya mengendalikan hawa nafsu. Orang yang bijaksana adalah mereka yang tidak tunduk pada keinginan rendah jiwa, tetapi berusaha melawan dorongan negatifnya untuk mencapai kebaikan.
وَالْعَيْنُ تَعْلَمُ فِي عَيْنَيْ مُحَدِّثِهَا … مَنْ كَانَ مِنْ حِزْبِهَا أَوْ مِنْ أَعَادِيهَا
“Matamu mengetahui dari mata orang yang berbicara kepadamu,
Siapa yang menjadi sekutunya atau musuhnya.”
Mata seseorang dapat mengungkapkan banyak hal tentang perasaan dan niatnya. Dengan memperhatikan ekspresi mata, kita bisa memahami apakah seseorang bersikap jujur atau tidak.
عَيْنَاك قَدْ دَلَّتَا عَيْنَيَّ مِنْك عَلَى … أَشْيَاءَ لَوْلَاهُمَا مَا كُنْت تُبْدِيهَا
“Mata-matamu telah menunjukkan mataku padaku,
Hal-hal yang tanpa mereka, engkau tidak akan mengungkapkannya.”
Ini menekankan bahwa bahasa tubuh, terutama mata, sering kali mengungkapkan apa yang mungkin disembunyikan oleh kata-kata. Mata adalah cermin jiwa yang dapat memberikan wawasan tentang pikiran dan perasaan seseorang.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْعَقْلَ الْمُكْتَسَبَ لَا يَنْفَكُّ عَنْ الْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ؛ لِأَنَّهُ نَتِيجَةٌ مِنْهُ
Ketahuilah bahwa akal yang diperoleh (al-‘aql al-muktasab) tidak dapat dipisahkan dari akal bawaan (al-‘aql al-gharizi), karena akal yang diperoleh adalah hasil dari akal bawaan. Artinya, akal bawaan adalah dasar yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kebijaksanaan melalui pengalaman, pendidikan, dan refleksi.
وَقَدْ يَنْفَكُّ الْعَقْلُ الْغَرِيزِيُّ عَنْ الْعَقْلِ الْمُكْتَسَبِ فَيَكُونَ صَاحِبُهُ مَسْلُوبَ الْفَضَائِلِ، مَوْفُورَ الرَّذَائِلِ
Namun, ada kemungkinan bahwa akal bawaan tidak berkembang menjadi akal yang diperoleh, sehingga pemiliknya menjadi orang yang kehilangan keutamaan-keutamaan (al-fadā’il) dan penuh dengan keburukan-keburukan (ar-radhā’il). Dalam hal ini, ia gagal memanfaatkan potensi akal bawaannya untuk mencapai kebijaksanaan atau moralitas yang tinggi.
كَالْأَنْوَكِ الَّذِي لَا يَجِدُ لَهُ فَضِيلَةً، وَالْأَحْمَقُ الَّذِي قَلَّ مَا يَخْلُو مِنْ رَذِيلَةٍ
Contohnya adalah seperti:
- Orang bodoh yang keras kepala (al-anwak): Ia tidak memiliki keutamaan sama sekali, karena tidak mampu menggunakan akalnya untuk berpikir jernih atau bertindak bijak.
- Orang bodoh (al-ahmaq): Ia jarang terbebas dari keburukan, karena ketidakmampuannya untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta kurangnya kontrol terhadap hawa nafsu.
Dengan kata lain, jika seseorang hanya memiliki akal bawaan tetapi tidak mengembangkannya menjadi akal yang diperoleh, maka ia akan menjadi orang yang tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Kesimpulan
Hubungan antara Akal Bawaan dan Akal yang Diperoleh:
Akal bawaan adalah fondasi, sedangkan akal yang diperoleh adalah hasil dari pengembangan fondasi tersebut melalui pembelajaran, pengalaman, dan refleksi. Keduanya saling terkait, dan akal yang diperoleh tidak dapat eksis tanpa akal bawaan.
Akibat Jika Akal Bawaan Tidak Berkembang:
Jika seseorang tidak mengembangkan akal bawaannya menjadi akal yang diperoleh, maka ia akan kehilangan keutamaan-keutamaan moral dan intelektual, serta cenderung melakukan tindakan-tindakan yang buruk.
Contoh Kasus:
Orang yang keras kepala dan bodoh adalah contoh nyata dari mereka yang gagal mengembangkan akal bawaan mereka. Mereka tidak memiliki kebijaksanaan atau moralitas yang tinggi, dan sering kali terjerumus dalam perilaku yang merugikan.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk terus mengasah akalnya melalui ilmu pengetahuan, pengalaman, dan introspeksi, agar dapat mencapai keutamaan dan menjauhi keburukan.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: الْأَحْمَقُ كَالْفَخَّارِ لَا يُرَقَّعُ وَلَا يُشَعَّبُ
Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Orang bodoh itu seperti tembikar (gerabah), tidak bisa diperbaiki atau disambung kembali.”
Makna ini menunjukkan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh orang bodoh sulit untuk diperbaiki, karena mereka tidak memiliki pemahaman atau kebijaksanaan yang cukup untuk memperbaiki tindakan mereka. Seperti tembikar yang pecah, sekali rusak, sulit untuk dikembalikan ke bentuk semula.
وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: الْأَحْمَقُ أَبْغَضُ خَلْقِ اللَّهِ إلَيْهِ، إذْ حَرَمَهُ أَعَزَّ الْأَشْيَاءِ عَلَيْهِ
Juga diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Orang bodoh adalah makhluk yang paling dibenci oleh Allah, karena Dia telah mencabut darinya hal yang paling berharga bagi-Nya.”
Ini menunjukkan bahwa akal adalah anugerah terbesar dari Allah, dan ketika seseorang tidak menggunakan akalnya dengan baik, ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga di mata Allah. Orang bodoh tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan bagi orang lain.
وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الْحَاجَةُ إلَى الْعَقْلِ أَقْبَحُ مِنْ الْحَاجَةِ إلَى الْمَالِ
Sebagian bijak berkata:
“Kebutuhan akan akal lebih buruk daripada kebutuhan akan harta.”
Artinya, jika seseorang kekurangan harta, ia masih bisa hidup dengan sederhana, tetapi jika ia kekurangan akal, maka ia tidak akan mampu menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana. Kekurangan akal adalah kekurangan yang lebih fatal daripada kekurangan materi.
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: دَوْلَةُ الْجَاهِلِ عِبْرَةُ الْعَاقِلِ
Sebagian ahli sastra berkata:
“Keberuntungan orang bodoh menjadi pelajaran bagi orang yang berakal.”
Ini berarti bahwa ketika orang bodoh mendapatkan keberhasilan atau kekuasaan, hal itu sering kali disebabkan oleh faktor kebetulan atau nasib, bukan karena kebijaksanaan. Orang yang berakal akan menjadikan hal ini sebagai pelajaran untuk tidak bergantung pada keberuntungan semata, melainkan pada usaha dan pemikiran yang matang.
وَقَالَ أَنُوشِرْوَانَ لِبَزَرْجَمْهَرَ: أَيُّ الْأَشْيَاءِ خَيْرٌ لِلْمَرْءِ؟
Anushirwan (raja Persia yang terkenal bijaksana) bertanya kepada Bazarjamhr (seorang filsuf):
“Apa hal terbaik bagi manusia?”
قَالَ: عَقْلٌ يَعِيشُ بِهِ
Bazarjamhr menjawab:
“Akal yang digunakan untuk hidup.”
Akal adalah aset terbesar yang dimiliki manusia. Dengan akal, seseorang dapat memecahkan masalah, membuat keputusan yang bijak, dan menjalani hidup dengan baik.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ؟ قَالَ: فَإِخْوَانٌ يَسْتُرُونَ عَيْبَهُ
Anushirwan bertanya lagi:
“Bagaimana jika ia tidak memiliki akal?”
Bazarjamhr menjawab:
“Maka saudara-saudara yang menutupi kekurangannya.”
Jika seseorang tidak memiliki akal yang cukup, setidaknya ia membutuhkan orang-orang baik di sekitarnya yang dapat membantu dan melindungi dirinya dari kesalahan.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ؟ قَالَ: فَمَالٌ يَتَحَبَّبُ بِهِ إلَى النَّاسِ
Anushirwan bertanya lagi:
“Bagaimana jika ia tidak memiliki saudara?”
Bazarjamhr menjawab:
“Maka harta yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada orang lain.”
Jika tidak ada akal atau saudara, harta dapat menjadi alat untuk membangun hubungan sosial. Namun, ini adalah solusi yang lebih rendah dibandingkan akal dan persaudaraan.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ؟ قَالَ: فَعِيٌّ صَامِتٌ
Anushirwan bertanya lagi:
“Bagaimana jika ia tidak memiliki harta?”
Bazarjamhr menjawab:
“Maka diam dalam kebodohan.”
Jika seseorang tidak memiliki akal, saudara, atau harta, maka yang terbaik baginya adalah diam agar tidak menyakiti dirinya sendiri atau orang lain dengan perkataan bodohnya.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ؟ قَالَ: فَمَوْتٌ جَارِفٌ
Anushirwan bertanya lagi:
“Bagaimana jika ia tidak mampu diam?”
Bazarjamhr menjawab:
“Maka kematian yang menghancurkan.”
Jika seseorang tidak memiliki apa pun dari hal-hal di atas—tidak ada akal, tidak ada saudara, tidak ada harta, dan tidak bisa diam—maka kematian adalah jalan terakhir, karena kehidupan tanpa akal atau nilai-nilai positif hanya akan membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.
وَقَالَ سَابُورُ بْنُ أَرْدَشِيرَ: الْعَقْلُ نَوْعَانِ: أَحَدُهُمَا مَطْبُوعٌ، وَالْآخَرُ مَسْمُوعٌ. وَلَا يَصْلُحُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إلَّا بِصَاحِبِهِ
Sabur bin Ardashir, seorang filsuf Persia terkenal, berkata:
“Akal itu ada dua jenis: yang pertama adalah akal bawaan (muthabba’), dan yang kedua adalah akal didengar/dipelajari (masmu’). Tidak satu pun dari keduanya yang berguna tanpa yang lainnya.”
- Akal bawaan (muthabba’) adalah kemampuan berpikir dan memahami yang dimiliki seseorang secara alami sejak lahir. Ini adalah fondasi dasar untuk memproses informasi dan mengambil keputusan.
- Akal didengar/dipelajari (masmu’) adalah pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh melalui pendidikan, pengalaman, dan interaksi dengan orang lain.
Keduanya saling melengkapi. Akal bawaan tanpa pembelajaran akan tetap mentah dan tidak berkembang, sedangkan pengetahuan yang dipelajari tanpa akal bawaan tidak dapat diolah dengan baik.
فَأَخَذَ ذَلِكَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ فَقَالَ: رَأَيْتُ الْعَقْلَ نَوْعَيْنِ … فَمَسْمُوعٌ وَمَطْبُوعُ وَلَا يَنْفَعُ مَسْمُوعٌ … إذَا لَمْ يَكُ مَطْبُوعُ كَمَا لَا تَنْفَعُ الشَّمْسُ … وَضَوْءُ الْعَيْنِ مَمْنُوعُ
Seorang penyair mengambil konsep ini dan mengungkapkannya dalam syair:
“Aku melihat bahwa akal itu ada dua jenis: yang didengar dan yang bawaan.
Yang didengar tidak berguna jika tidak ada yang bawaan,
Seperti matahari yang tidak bermanfaat jika cahayanya tertutup oleh halangan.”
Syair ini menggunakan perumpamaan matahari dan penglihatan untuk menjelaskan hubungan antara akal bawaan dan akal yang dipelajari. Cahaya matahari (pengetahuan) tidak akan bermanfaat jika mata (akal bawaan) tidak mampu melihatnya.
وَقَدْ وَصَفَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ الْعَاقِلَ بِمَا فِيهِ مِنْ الْفَضَائِلِ، وَالْأَحْمَقَ بِمَا فِيهِ مِنْ الرَّذَائِلِ
Sebagian ahli sastra mendeskripsikan orang berakal melalui keutamaan-keutamaan yang ada padanya, dan orang bodoh melalui keburukan-keburukannya.
فَقَالَ: الْعَاقِلُ إذَا وَالَى بَذَلَ فِي الْمَوَدَّةِ نَصْرَهُ، وَإِذَا عَادَى رَفَعَ عَنْ الظُّلْمِ قَدْرَهُ
Mereka berkata:
“Orang yang berakal, ketika mencintai, ia memberikan dukungan sepenuhnya dalam persahabatan. Dan ketika memusuhi, ia menjauhkan diri dari kezaliman.”
Ini menunjukkan bahwa orang berakal bertindak dengan bijaksana, baik dalam hubungan persahabatan maupun permusuhan. Ia tidak membiarkan emosi menguasai dirinya, melainkan selalu berpegang pada prinsip keadilan.
فَيُسْعِدُ مَوَالِيَهُ بِعَقْلِهِ، وَيَعْتَصِمُ مُعَادِيهِ بِعَدْلِهِ
“Dengan akalnya, ia membahagiakan teman-temannya, dan dengan keadilannya, musuh-musuhnya merasa aman.”
Orang berakal tidak hanya membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya, tetapi juga dihormati bahkan oleh musuh-musuhnya karena sikap adilnya.
إنْ أَحْسَنَ إلَى أَحَدٍ تَرَكَ الْمُطَالَبَةَ بِالشُّكْرِ، وَإِنْ أَسَاءَ إلَيْهِ مُسِيءٌ سَبَّبَ لَهُ أَسْبَابَ الْعُذْرِ، أَوْ مَنَحَهُ الصَّفْحَ وَالْعَفْوَ
“Jika ia berbuat baik kepada seseorang, ia tidak menuntut rasa syukur. Jika seseorang berbuat jahat kepadanya, ia mencari alasan untuk memaafkan atau memberikan pengampunan.”
Ini adalah gambaran sempurna dari karakter mulia. Orang berakal tidak mengharapkan balasan atas kebaikannya, dan ketika dizalimi, ia lebih memilih untuk memaafkan daripada membalas dendam.
وَالْأَحْمَقُ ضَالٌّ مُضِلٌّ إنْ أُونِسَ تَكَبَّرَ، وَإِنْ أُوحِشَ تَكْدَرَ، وَإِنْ اُسْتُنْطِقَ تَخَلَّفَ، وَإِنْ تُرِكَ تَكَلَّفَ
Orang bodoh adalah orang yang tersesat dan menyesatkan:
- Jika ia ditemani, ia menjadi sombong.
- Jika ia diabaikan, ia menjadi murung.
- Jika diminta berbicara, ia gagap atau tidak mampu menjawab dengan baik.
- Jika dibiarkan sendiri, ia berusaha keras untuk terlihat penting.
Ini menggambarkan bahwa orang bodoh tidak memiliki keseimbangan dalam perilaku. Ia cenderung bereaksi secara berlebihan terhadap situasi, baik itu dengan kesombongan, kemurungan, atau upaya yang sia-sia untuk mendapatkan perhatian.
مُجَالَسَتُهُ مِهْنَةٌ، وَمُعَاتَبَتُهُ مِحْنَةٌ، وَمُحَاوَرَتُهُ تَعَرٍّ، وَمُوَالَاتُهُ تَضُرُّ، وَمُقَارَبَتُهُ عَمَى، وَمُقَارَنَتُهُ شَقَا
- Mengajaknya duduk bersama adalah pekerjaan berat.
Kehadirannya hanya menambah beban karena sikapnya yang tidak menyenangkan. - Menegurnya adalah ujian berat.
Menegur orang bodoh justru akan memperburuk keadaan, karena ia tidak akan menerima kritik dengan bijaksana. - Berdialog dengannya adalah seperti telanjang.
Berbicara dengannya sering kali mengungkapkan kekurangannya, membuatnya tampak lebih buruk. - Berteman dengannya adalah merugikan.
Persahabatan dengan orang bodoh hanya akan membawa kerugian, baik secara moral maupun praktis. - Mendekatinya adalah kebutaan.
Dekat dengannya membuat seseorang “buta” dari kebenaran dan kebijaksanaan. - Menyamai dirinya adalah kesengsaraan.
Menjadi seperti dia hanya akan membawa penderitaan.
Ini menunjukkan bahwa interaksi dengan orang bodoh tidak hanya tidak bermanfaat, tetapi juga merusak bagi orang lain.
وَكَانَتْ مُلُوكُ الْفُرْسِ إذَا غَضِبَتْ عَلَى عَاقِلٍ حَبَسَتْهُ مَعَ جَاهِلٍ
Raja-raja Persia, jika marah kepada orang yang berakal, mereka akan memenjarakannya bersama orang bodoh.
Hukuman ini dirancang untuk menyiksa orang berakal, karena tinggal bersama orang bodoh adalah bentuk penderitaan tersendiri. Ini menunjukkan betapa buruknya dampak orang bodoh terhadap lingkungan sekitarnya.
وَالْأَحْمَقُ يُسِيءُ إلَى غَيْرِهِ وَيَظُنُّ أَنَّهُ قَدْ أَحْسَنَ إلَيْهِ فَيُطَالِبُهُ بِالشُّكْرِ، وَيُحْسِنُ إلَيْهِ فَيَظُنُّ أَنَّهُ قَدْ أَسَاءَ فَيُطَالِبُهُ بِالْوَتَرِ
Orang bodoh sering kali berbuat jahat kepada orang lain, tetapi ia mengira telah berbuat baik, sehingga ia menuntut rasa syukur. Sebaliknya, ketika ia berbuat baik, ia mengira telah berbuat jahat, sehingga ia menuntut balas dendam.
Ini menunjukkan bahwa orang bodoh tidak memiliki pemahaman yang benar tentang tindakan dan konsekuensinya. Ia selalu salah menafsirkan situasi, yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
فَمَسَاوِئُ الْأَحْمَقِ لَا تَنْقَضِي وَعُيُوبُهُ لَا تَتَنَاهَى وَلَا يَقِفُ النَّظَرُ مِنْهَا إلَى غَايَةٍ إلَّا لَوَّحَتْ مَا وَرَاءَهَا مِمَّا هُوَ أَدْنَى مِنْهَا، وَأَرْدَى، وَأَمَرُّ، وَأَدْهَى
Keburukan orang bodoh tidak ada habisnya, dan cacat-cacatnya tidak terbatas. Jika seseorang mencoba melihat keburukannya hingga batas tertentu, maka akan muncul keburukan lain yang lebih rendah, lebih berbahaya, lebih pahit, dan lebih rumit.
Ini menunjukkan bahwa orang bodoh adalah sumber masalah yang terus-menerus. Setiap kali satu masalah tampaknya selesai, muncul masalah baru yang lebih besar dan lebih sulit untuk diatasi.
فَمَا أَكْثَرَ الْعِبْرَ لِمَنْ نَظَرَ، وَأَنْفَعَهَا لِمَنْ اعْتَبَرَ.
Betapa banyak pelajaran berharga bagi orang yang mau melihat, dan betapa bermanfaatnya pelajaran itu bagi orang yang mau merenungkannya.
Ini menunjukkan bahwa kehidupan ini penuh dengan tanda-tanda dan pelajaran bagi mereka yang memiliki mata hati untuk melihat dan akal untuk memahami. Orang yang bijak tidak hanya melihat apa yang terjadi di permukaan, tetapi juga mencari hikmah di balik setiap peristiwa.
وَقَالَ الْأَحْنَفُ بْنُ قَيْسٍ: مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُحْفَظُ الْأَحْمَقُ إلَّا مِنْ نَفْسِهِ
Al-Ahnaf bin Qais berkata:
“Orang bodoh dapat dilindungi dari segala sesuatu, kecuali dari dirinya sendiri.”
Ini menunjukkan bahwa kebodohan adalah musuh terbesar seseorang. Tidak ada yang lebih merusak bagi orang bodoh selain dirinya sendiri, karena ia sering kali menjadi penyebab utama masalah-masalah yang menimpanya.
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: إنَّ الدُّنْيَا رُبَّمَا أَقْبَلَتْ عَلَى الْجَاهِلِ بِالِاتِّفَاقِ، وَأَدْبَرَتْ عَنْ الْعَاقِلِ بِالِاسْتِحْقَاقِ
Sebagian ahli sastra berkata:
“Dunia kadang-kadang datang kepada orang bodoh secara kebetulan, dan berpaling dari orang berakal karena takdir.”
Ini menunjukkan bahwa dunia tidak selalu adil dalam memberikan rezeki. Terkadang, orang bodoh mendapatkan keberuntungan tanpa usaha atau pemahaman, sementara orang berakal mungkin menghadapi kesulitan meskipun telah berusaha keras. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kebodohan lebih baik daripada akal.
فَإِنْ أَتَتْك مِنْهَا سُهْمَةٌ مَعَ جَهْلٍ، أَوْ فَاتَتْك مِنْهَا بُغْيَةٌ مَعَ عَقْلٍ، فَلَا يَحْمِلَنَّكَ ذَلِكَ عَلَى الرَّغْبَةِ فِي الْجَهْلِ، وَالزُّهْدِ فِي الْعَقْلِ
Jika engkau mendapatkan bagian dari dunia ini dalam keadaan bodoh, atau jika engkau kehilangan sesuatu yang diinginkan meskipun engkau berakal, jangan sampai hal itu membuatmu menginginkan kebodohan atau meninggalkan akal.
Ini adalah nasihat agar manusia tidak terjebak pada pandangan dangkal tentang kehidupan. Keberhasilan duniawi yang diperoleh tanpa akal tidaklah berharga, dan kegagalan yang dialami oleh orang berakal bukanlah alasan untuk meninggalkan kebijaksanaan.
فَدَوْلَةُ الْجَاهِلِ مِنْ الْمُمْكِنَاتِ، وَدَوْلَةُ الْعَاقِلِ مِنْ الْوَاجِبَاتِ
Keberuntungan orang bodoh adalah sesuatu yang mungkin terjadi (tidak pasti), sedangkan keberuntungan orang berakal adalah sesuatu yang pasti (wajib).
Artinya, keberuntungan yang diperoleh orang bodoh bersifat sementara dan tidak dapat diandalkan, sedangkan keberuntungan orang berakal bersifat permanen dan pasti, karena ia membangunnya melalui usaha, pengetahuan, dan kebijaksanaan.
وَلَيْسَ مَنْ أَمْكَنَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَاتِهِ، كَمَنْ اسْتَوْجَبَهُ بِآلَتِهِ، وَأَدَوَاتِهِ
Orang yang mendapatkan sesuatu dari dirinya sendiri tanpa usaha atau alat bantu tidak sama dengan orang yang mendapatkannya melalui alat-alat dan usaha yang disengaja.
Ini menekankan pentingnya kerja keras, strategi, dan penggunaan akal dalam mencapai tujuan. Keberhasilan yang diperoleh melalui upaya yang disengaja jauh lebih berharga daripada keberuntungan semata.
وَبَعْدُ فَدَوْلَةُ الْجَاهِلِ كَالْغَرِيبِ الَّذِي يَحِنُّ إلَى النُّقْلَةِ، وَدَوْلَةُ الْعَاقِلِ كَالنَّسِيبِ الَّذِي يَحِنُّ إلَى الْوَصْلَةِ
Setelah itu, keberuntungan orang bodoh seperti seorang asing yang selalu merindukan untuk pergi (kembali ke tempat asalnya), sedangkan keberuntungan orang berakal seperti kerabat dekat yang selalu ingin tetap tinggal dan bersatu.
Ini menggambarkan bahwa keberuntungan yang diperoleh oleh orang bodoh adalah sesuatu yang tidak stabil dan cenderung sementara. Ia tidak benar-benar merasa nyaman atau memiliki kedekatan dengan apa yang telah ia dapatkan. Sebaliknya, keberuntungan orang berakal bersifat permanen dan mendalam, karena ia membangunnya melalui usaha dan pemahaman yang kokoh.
فَلَا يَفْرَحُ الْمَرْءُ بِحَالَةٍ جَلِيلَةٍ نَالَهَا بِغَيْرِ عَقْلٍ، وَمَنْزِلَةٍ رَفِيعَةٍ حَلَّهَا بِغَيْرِ فَضْلٍ
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh bergembira atas kondisi yang luar biasa atau kedudukan tinggi yang diraih tanpa menggunakan akal, atau tanpa dasar keutamaan.
Ini adalah nasihat agar manusia tidak terlena oleh kesuksesan yang diperoleh secara kebetulan atau tanpa usaha nyata. Keberhasilan semacam itu tidak memiliki fondasi yang kuat dan tidak layak untuk dibanggakan.
فَإِنَّ الْجَهْلَ يُنْزِلُهُ مِنْهَا، وَيُزِيلُهُ عَنْهَا، وَيَحُطُّهُ إلَى رُتْبَتِهِ، وَيَرُدُّهُ إلَى قِيمَتِهِ
Karena kebodohan akan menurunkannya dari posisi itu, menjauhkannya darinya, dan mengembalikannya ke tingkat yang sebenarnya, serta menempatkannya pada nilai aslinya.
Artinya, keberuntungan yang diperoleh tanpa akal atau keutamaan tidak akan bertahan lama. Pada akhirnya, kebodohan akan membawa seseorang kembali ke keadaan awalnya, bahkan mungkin lebih rendah lagi.
بَعْدَ أَنْ تَظْهَرَ عُيُوبُهُ، وَتَكْثُرَ ذُنُوبُهُ، وَيَصِيرَ مَادِحُهُ هَاجِيًا، وَوَلِيُّهُ مُعَادِيًا
Setelah cacat-cacatnya terungkap, dosa-dosanya bertambah banyak, orang yang memujinya berubah menjadi pengkritik, dan teman dekatnya berbalik menjadi musuh.
Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mencapai sesuatu tanpa akal atau kebijaksanaan, kekurangannya akan segera terlihat oleh orang lain. Reputasinya akan hancur, dan hubungan baik yang pernah dimilikinya akan berubah menjadi permusuhan. Orang-orang yang awalnya mendukungnya akan meninggalkannya begitu mereka menyadari kelemahannya.
وَاعْلَمْ أَنَّهُ بِحَسَبِ مَا يُنْشَرُ مِنْ فَضَائِلِ الْعَاقِلِ، كَذَلِكَ يَظْهَرُ مِنْ رَذَائِلِ الْجَاهِلِ، حَتَّى يَصِيرَ مَثَلًا فِي الْغَابِرِينَ، وَحَدِيثًا فِي الْأَخِرِينَ.
Ketahuilah bahwa sejalan dengan tersebarnya keutamaan-keutamaan orang berakal, demikian pula keburukan-keburukan orang bodoh akan semakin tampak, hingga ia menjadi perumpamaan bagi generasi mendatang dan bahan pembicaraan bagi orang-orang di masa depan.
Ini menunjukkan bahwa tindakan seseorang, baik atau buruk, akan meninggalkan jejak yang abadi. Orang berakal dikenang karena kebijaksanaannya, sedangkan orang bodoh dikenang karena kebodohan dan kesalahannya.
مَعَ هَتْكِهِ فِي عَصْرِهِ، وَقُبْحِ ذِكْرِهِ فِي دَهْرِهِ
Selain itu, orang bodoh juga akan terhina di masanya sendiri, dan namanya akan menjadi aib di sepanjang zaman.
Artinya, kebodohan tidak hanya merugikan pelakunya di dunia (dengan membuatnya direndahkan oleh masyarakat), tetapi juga meninggalkan kesan negatif yang bertahan lama dalam sejarah.
كَاَلَّذِي رَوَاهُ عَطَاءٌ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَ فِي بَنِي إسْرَائِيلَ رَجُلٌ لَهُ حِمَارٌ. فَقَالَ: يَا رَبِّ لَوْ كَانَ لَك حِمَارٌ لَعَلَفْته مَعَ حِمَارِي
Sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ dari Jabir, dia berkata:
“Dahulu di kalangan Bani Israil ada seorang laki-laki yang memiliki seekor keledai. Ia berkata: ‘Wahai Tuhanku, seandainya Engkau memiliki keledai, pasti aku akan memberinya makan bersama keledaiku.’”
Ini adalah contoh nyata dari kebodohan manusia yang melampaui batas. Laki-laki ini tidak hanya bodoh dalam pemahamannya tentang Allah, tetapi juga lancang dengan menggambarkan Tuhan sebagai makhluk yang membutuhkan sesuatu seperti manusia.
فَهَمَّ بِهِ نَبِيٌّ مِنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ، فَأَوْحَى اللَّهُ إلَيْهِ: إنَّمَا أُثِيبُ كُلَّ إنْسَانٍ عَلَى قَدْرِ عَقْلِهِ
Maka salah seorang nabi Allah berniat untuk menghukumnya, tetapi Allah mewahyukan kepada nabi tersebut:
“Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada setiap manusia sesuai dengan kadar akalnya.”
وَاسْتَعْمَلَ مُعَاوِيَةُ رَجُلًا مِنْ كَلْبٍ فَذُكِرَ الْمَجُوسُ يَوْمًا عِنْدَهُ فَقَالَ: لَعَنَ اللَّهُ الْمَجُوسَ يَنْكِحُونَ أُمَّهَاتِهِمْ، وَاَللَّهِ لَوْ أُعْطِيتُ عَشْرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ مَا نَكَحْت أُمِّي
Mu’awiyah pernah mengangkat seorang laki-laki dari suku Kalb untuk sebuah jabatan. Pada suatu hari, ketika kaum Majusi disebut dalam pembicaraan, orang itu berkata:
“Semoga Allah melaknat kaum Majusi, mereka menikahi ibu-ibu mereka! Demi Allah, sekalipun aku diberi sepuluh ribu dirham, aku tidak akan menikahi ibuku.”
Pernyataan ini menunjukkan kebodohan yang luar biasa. Orang tersebut tidak hanya menyatakan sesuatu yang jelas-jelas salah (karena hukum Islam melarang pernikahan semacam itu), tetapi juga berbicara dengan cara yang tidak pantas dan merendahkan martabat manusia.
فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ: – قَبَّحَهُ اللَّهُ – أَتَرَوْنَهُ لَوْ زَادُوهُ فَعَلَ؟ وَعَزَلَهُ
Ketika hal ini sampai kepada Mu’awiyah, ia berkata:
“Semoga Allah mencelakainya! Apakah kalian pikir jika mereka memberinya lebih banyak uang, dia akan melakukannya?”
Mu’awiyah kemudian mencopotnya dari jabatannya karena kebodohannya yang terlalu nyata. Ini menunjukkan bahwa kebodohan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga dapat merusak reputasi dan memengaruhi posisi seseorang dalam masyarakat.
وَوَلَّى الرَّبِيعَ الْعَامِرِيَّ – وَكَانَ مِنْ النَّوْكَى – عَلَى سَائِرِ الْيَمَامَةِ
Mu’awiyah kemudian mengangkat Ar-Rabi’ Al-‘Amiri, yang juga termasuk orang bodoh, untuk menggantikan posisi tersebut di wilayah Yamanah.
فَأَقَادَ كَلْبًا بِكَلْبٍ فَقَالَ فِيهِ الشَّاعِرُ: شَهِدْت بِأَنَّ اللَّهَ حَقًّا لِقَاؤُهُ … وَأَنَّ الرَّبِيعَ الْعَامِرِيَّ رَقِيعُ أَقَادَ لَنَا كَلْبًا بِكَلْبٍ وَلَمْ يَدَعْ … دِمَاءَ كِلَابِ الْمُسْلِمِينَ تَضِيعُ
Ar-Rabi’ Al-‘Amiri kemudian membuat keputusan yang aneh dan bodoh: ia menjatuhkan hukuman qishash (hukum balasan) atas seekor anjing dengan seekor anjing lainnya. Seorang penyair kemudian mengejeknya dalam syair:
“Aku bersaksi bahwa Allah benar-benar akan datang (pada hari kiamat),
Dan bahwa Ar-Rabi’ Al-‘Amiri adalah orang yang rendah.
Ia menjatuhkan hukuman seekor anjing dengan seekor anjing,
Dan tidak membiarkan darah anjing-anjing kaum Muslimin sia-sia.”
Syair ini mengejek keputusan bodoh Ar-Rabi’, yang menganggap anjing layak mendapatkan hukum qishash seperti manusia. Ini menunjukkan betapa kebodohan dapat menyebabkan keputusan yang tidak masuk akal dan merendahkan martabat pemimpin.
وَلَيْسَ لِمَعَارِّ الْجَهْلِ غَايَةٌ، وَلَا لِمَضَارِّ الْحُمْقِ نِهَايَةٌ
Tidak ada batasan bagi bahaya yang ditimbulkan oleh kebodohan, dan tidak ada akhir bagi kerugian yang disebabkan oleh kecerobohan.
Ini adalah kesimpulan yang tegas tentang dampak buruk dari kebodohan. Kebodohan tidak hanya merugikan individu, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan sosial yang luas. Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk menggunakan akalnya dan menghindari tindakan yang ceroboh atau tidak bijaksana.
قَالَ الشَّاعِرُ: لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ يُسْتَطَبُّ بِهِ … إلَّا الْحَمَاقَةَ أَعْيَتْ مَنْ يُدَاوِيهَا
Seorang penyair berkata:
“Setiap penyakit ada obat yang dapat digunakan untuk menyembuhkannya,
Kecuali kebodohan, yang membuat frustrasi siapa pun yang mencoba mengobatinya.”
***
SELANJUTNYA: https://shamela.ws/book/765/16#p1
Leave a Reply