BAB: Bayan – Kitab Al-Bayan wa At-Tabyin oleh Al-Jahizh

قَالَ بَعْضُ جَهَابِذَةِ الْأَلْفَاظِ وَنُقَّادِ الْمَعَانِي: الْمَعَانِي الْقَائِمَةُ فِي صُدُورِ النَّاسِ، الْمُتَصَوَّرَةُ فِي أَذْهَانِهِمْ، وَالْمُتَخَلِّجَةُ فِي نُفُوسِهِمْ، وَالْمُتَّصِلَةُ بِخَوَاطِرِهِمْ، وَالْحَادِثَةُ عَنْ فِكْرِهِمْ، مَسْتُورَةٌ خَفِيَّةٌ، وَبَعِيدَةٌ وُحْشِيَّةٌ، وَمَحْجُوبَةٌ مَكْنُونَةٌ، وَمَوْجُودَةٌ فِي مَعْنَى مَعْدُومَةٍ

Seorang ahli yang tajam dalam mengurai kata dan menimbang makna pernah berkata:

“Makna-makna yang bersemayam di dada manusia, yang terlukis dalam benak mereka, yang berdesir halus di jiwa mereka, yang menyatu dengan lintasan pikiran mereka, dan yang terlahir dari renungan mereka adalah makna-makna yang tersembunyi, samar, jauh bagai sesuatu yang liar, tertutup rapat bak harta yang terpendam. Ia ada, namun dalam hakikatnya seolah tiada.”

***

لَا يَعْرِفُ الْإِنْسَانُ ضَمِيرَ صَاحِبِهِ، وَلَا حَاجَةَ أَخِيهِ وَخَلِيطِهِ، وَلَا مَعْنَى شَرِيكِهِ وَالْمُعَاوِنِ لَهُ عَلَى أُمُورِهِ، وَعَلَى مَا لَا يَبْلُغُهُ مِنْ حَاجَاتِ نَفْسِهِ إِلَّا بِغَيْرِهِ

Manusia tidak mampu membaca isi hati sahabatnya, tidak pula mengetahui kebutuhan saudaranya atau teman karibnya. Ia pun tak memahami maksud dari sekutunya, juga penolongnya dalam urusan-urusannya, maupun dalam hal-hal yang tak dapat ia capai dari keperluan dirinya sendiri, kecuali melalui perantaraan orang lain.

***

وَإِنَّمَا يُحْيِي تِلْكَ الْمَعَانِي ذِكْرُهُمْ لَهَا، وَأَخْبَارُهُمْ عَنْهَا، وَاسْتِعْمَالُهُمْ إِيَّاهَا. وَهَذِهِ الْخِصَالُ هِيَ الَّتِي تُقَرِّبُهَا مِنَ الْفَهْمِ، وَتُجَلِّيهَا لِلْعَقْلِ، وَتَجْعَلُ الْخَفِيَّ مِنْهَا ظَاهِرًا، وَالْغَائِبَ شَاهِدًا، وَالْبَعِيدَ قَرِيبًا

Sesungguhnya, yang menghidupkan makna-makna itu adalah ketika manusia menyebutnya, menceritakannya, dan menggunakannya. Dan sifat-sifat inilah yang mendekatkan makna-makna itu kepada pemahaman, menjelaskannya bagi akal, menjadikan yang tersembunyi darinya tampak nyata, yang gaib menjadi hadir, dan yang jauh terasa dekat.

***

وَهِيَ الَّتِي تُلَخِّصُ الْمُلْتَبِسَ، وَتَحُلُّ الْمُنْعَقِدَ، وَتَجْعَلُ الْمُهْمَلَ مُقَيَّدًا، وَالْمُقَيَّدَ مُطْلَقًا، وَالْمَجْهُولَ مَعْرُوفًا، وَالْوَحْشِيَّ مُجْلَفًا، وَالْغُفْلَ مَوْسُومًا، وَالْمَوْسُومَ مَعْلُومًا

Dialah yang merumuskan hal-hal yang membingungkan, yang melepaskan simpul-simpul yang rumit, yang mengubah sesuatu yang terabaikan menjadi terikat, yang membebaskan sesuatu yang terkekang, yang menjadikan yang tak dikenal menjadi terang, yang menyulap sesuatu yang liar menjadi jinak, yang memberi tanda pada sesuatu yang polos, dan yang mengubah sesuatu yang telah bertanda menjadi sepenuhnya dipahami.

***

وَعَلَى قَدْرِ وُضُوحِ الدَّلَالَةِ وَصَوَابِ الْإِشَارَةِ، وَحُسْنِ الِاخْتِصَارِ، وَدِقَّةِ الْمَدْخَلِ، يَكُونُ إِظْهَارُ الْمَعْنَى

وَكُلَّمَا كَانَتِ الدَّلَالَةُ أَوْضَحَ وَأَفْصَحَ، وَكَانَتِ الْإِشَارَةُ أَبْيَنَ وَأَنْوَرَ، كَانَ أَنْفَعَ وَأَنْجَعَ

وَالدَّلَالَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى الْمَعْنَى الْخَفِيِّ هُوَ الْبَيَانُ الَّذِي سَمِعْتَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَمْدَحُهُ، وَيَدْعُو إِلَيْهِ وَيَحُثُّ عَلَيْهِ

بِذَلِكَ نَطَقَ الْقُرْآنُ، وَبِذَلِكَ تَفَاخَرَتِ الْعَرَبُ، وَتَفَاضَلَتْ أَصْنَافُ الْعَجَمِ

Sebanding dengan sejauh mana kejelasan petunjuk, ketepatan isyarat, keindahan ringkasan, dan ketelitian awal penyampaian, di situlah makna terungkap.

Semakin jelas dan fasih petunjuknya, semakin terang dan bercahaya isyaratnya, maka ia akan semakin bermanfaat dan manjur.

Dan petunjuk yang tampak untuk makna yang tersembunyi itulah hakikat bayan (penjelasan) yang telah engkau dengar dipuji oleh Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung, yang Dia serukan, dan yang Dia dorong dalam kitab-Nya.

Dengan bayan itu, Al-Qur’an berbicara, dan dengan bayan itu pula bangsa Arab berbangga-bangga, serta bangsa-bangsa lain saling unggul dalam berbagai ragamnya.

***

وَالْبَيَانُ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ شَيْءٍ كَشَفَ لَكَ قِنَاعَ الْمَعْنَى، وَهَتَكَ الْحِجَابَ دُونَ الضَّمِيرِ، حَتَّى يُغْضِيَ السَّامِعُ إِلَى حَقِيقَتِهِ، وَيَهْجُمَ عَلَى مَحْصُولِهِ كَائِنًا مَا كَانَ ذَلِكَ الْبَيَانُ، وَمِنْ أَيِّ جِنْسٍ كَانَ الدَّلِيلُ

لِأَنَّ مَدَارَ الْأَمْرِ وَالْغَايَةَ الَّتِي يَجْرِي الْقَائِلُ وَالسَّامِعُ، إِنَّمَا هُوَ الْفَهْمُ وَالْإِفْهَامُ

فَبِأَيِّ شَيْءٍ بَلَغَتِ الْأَفْهَامُ وَأَوْضَحَتْ عَنِ الْمَعْنَى، فَذَلِكَ هُوَ الْبَيَانُ فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ

Bayan (penjelasan) adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang menyingkap tabir makna, membuka selubung yang menghalangi isi hati, hingga pendengar mampu menangkap hakikatnya dan menyelami inti pesannya, apa pun bentuk bayan itu dan dari jenis apa pun petunjuknya.

Sebab, inti persoalan dan tujuan akhir yang menjadi poros antara penutur dan pendengar hanyalah pemahaman dan kemampuan memahami.

Maka, dengan cara apa pun pemahaman tercapai dan makna menjadi terang, itulah yang disebut bayan dalam konteks itu.

***

ثُمَّ اعْلَمْ – حَفِظَكَ اللَّهُ – أَنَّ حُكْمَ الْمَعَانِي خِلَافُ حُكْمِ الْأَلْفَاظِ، لِأَنَّ الْمَعَانِيَ مَبْسُوطَةٌ إِلَى غَيْرِ غَايَةٍ، وَمُمْتَدَّةٌ إِلَى غَيْرِ نِهَايَةٍ، وَأَسْمَاءَ الْمَعَانِي مَقْصُورَةٌ مَعْدُودَةٌ، وَمُحَصَّلَةٌ مَحْدُودَةٌ

Ketahuilah—semoga Allah menjagamu—bahwa hukum makna berbeda dengan hukum kata-kata. Sebab, makna itu terbentang tanpa batas, meluas tanpa ujung. Sedangkan nama-nama yang mewakili makna terbatas jumlahnya, terhitung, dan terbingkai dalam lingkup tertentu.

***

[[أدوات البيان الخمس]]
[Alat-alat Bayan yang Lima]

وَجَمِيعُ أَصْنَافِ الدَّلَالَاتِ عَلَى الْمَعَانِي مِنْ لَفْظٍ وَغَيْرِ لَفْظٍ، خَمْسَةُ أَشْيَاءَ لَا تَنْقُصُ وَلَا تَزِيدُ: أَوَّلُهَا اللَّفْظُ، ثُمَّ الْإِشَارَةُ، ثُمَّ الْعَقْدُ، ثُمَّ الْخَطُّ، ثُمَّ الْحَالُ الَّتِي تُسَمَّى نُصْبَةً

Segala macam bentuk petunjuk kepada makna, baik yang berupa kata-kata maupun selain kata-kata, terdiri dari lima jenis yang tidak kurang dan tidak lebih: pertama, kata-kata (lafaz); kedua, isyarat; ketiga, ikatan (konvensi atau simbol); keempat, tulisan; dan kelima, keadaan (situasi) yang disebut nushbah (penunjuk langsung melalui keadaan).

***

وَالنُّصْبَةُ هِيَ الْحَالُ الدَّالَّةُ، الَّتِي تَقُومُ مَقَامَ تِلْكَ الْأَصْنَافِ، وَلَا تَقْصُرُ عَنْ تِلْكَ الدَّلَالَاتِ

Nushbah adalah keadaan yang menjadi penunjuk makna, yang berfungsi menggantikan bentuk-bentuk petunjuk lainnya, dan tidak kalah dari petunjuk-petunjuk tersebut dalam menyampaikan maksud.

***

وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْخَمْسَةِ صُورَةٌ بَائِنَةٌ مِنْ صُورَةِ صَاحِبَتِهَا، وَحِلْيَةٌ مُخَالِفَةٌ لِحِلْيَةِ أُخْتِهَا، وَهِيَ الَّتِي تَكْشِفُ لَكَ عَنْ أَعْيَانِ الْمَعَانِي فِي الْجُمْلَةِ، ثُمَّ عَنْ حَقَائِقِهَا فِي التَّفْسِيرِ، وَعَنْ أَجْنَاسِهَا وَأَقْدَارِهَا، وَعَنْ خَاصِّهَا وَعَامِّهَا، وَعَنْ طَبَقَاتِهَا فِي السَّارِّ وَالضَّارِّ، وَعَمَّا يَكُونُ مِنْهَا لَغْوًا بَهْرَجًا، وَسَاقِطًا مَطْرُوحًا

Setiap satu dari kelima jenis tersebut memiliki bentuk yang berbeda dari bentuk rekannya, dan keindahan yang tidak serupa dengan keindahan saudarinya. Dialah yang menyingkap bagimu hakikat makna secara umum, lalu menyingkap detailnya dalam penafsiran, jenis-jenisnya, kadar-kadarnya, sifat-sifat khususnya dan umumnya, tingkatannya dalam hal yang menggembirakan dan yang menyakitkan, serta apa yang darinya hanya berupa omong kosong yang hampa atau sesuatu yang tak bernilai dan terbuang.

***

قَالَ أَبُو عُثْمَانَ: وَكَانَ فِي الْحَقِّ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْبَابُ فِي أَوَّلِ هَذَا الْكِتَابِ، وَلَكِنَّا أَخَّرْنَاهُ لِبَعْضِ التَّدْبِيرِ

Abu Utsman berkata: “Sebenarnya, sewajarnya bab ini berada di awal kitab ini, namun kami sengaja menundanya demi pertimbangan tertentu.”

***

وَقَالُوا: الْبَيَانُ بَصَرٌ، وَالْعِيُّ عَمًى، كَمَا أَنَّ الْعِلْمَ بَصَرٌ، وَالْجَهْلَ عَمًى

وَالْبَيَانُ مِنْ نَتَاجِ الْعِلْمِ، وَالْعِيُّ مِنْ نَتَاجِ الْجَهْلِ

Mereka berkata: “Bayan (penjelasan) adalah penglihatan, sementara kegagapan adalah kebutaan, sebagaimana ilmu adalah penglihatan, dan kebodohan adalah kebutaan.”

Bayan adalah hasil dari ilmu, sedangkan kegagapan berasal dari kebodohan.

***

وَقَالَ صَاحِبُ الْمَنْطِقِ: حَدُّ الْإِنْسَانِ: الْحَيُّ النَّاطِقُ الْمُبِينُ

Ahli logika berkata: “Definisi manusia adalah makhluk hidup yang berbicara dan mampu menjelaskan.”

***

وَقَالُوا: حَيَاةُ الْمُرُوءَةِ الصِّدْقُ، وَحَيَاةُ الرُّوحِ الْعَفَافُ، وَحَيَاةُ الْحِلْمِ الْعِلْمُ، وَحَيَاةُ الْعِلْمِ الْبَيَانُ

Mereka berkata: “Kehidupan kemuliaan adalah kejujuran, kehidupan jiwa adalah kesucian, kehidupan kesabaran adalah ilmu, dan kehidupan ilmu adalah bayan (penjelasan yang terang).”

***

وَقَالَ يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ: لَيْسَ لِعَيِيٍّ مُرُوءَةٌ، وَلَا لِمَنْقُوصِ الْبَيَانِ بَهَاءٌ، وَلَوْ حَكَّ بِيَافُوخِهِ أَعْنَانَ السَّمَاءِ

Yunus bin Habib berkata: “Tidak ada kemuliaan bagi seseorang yang gagap bicara, dan tidak ada keindahan bagi orang yang lemah dalam menjelaskan, sekalipun ubun-ubunnya menyentuh puncak langit.”

***

وَقَالُوا: شِعْرُ الرَّجُلِ قِطْعَةٌ مِنْ كَلَامِهِ، وَظَنُّهُ قِطْعَةٌ مِنْ عِلْمِهِ، وَاخْتِيَارُهُ قِطْعَةٌ مِنْ عَقْلِهِ

Mereka berkata: “Syair seseorang adalah bagian dari tutur katanya, prasangkanya adalah bagian dari ilmunya, dan pilihannya adalah bagian dari akalnya.”

***

وَقَالَ ابْنُ التوءَمِ: الرُّوحُ عِمَادُ الْبَدَنِ، وَالْعِلْمُ عِمَادُ الرُّوحِ، وَالْبَيَانُ عِمَادُ الْعِلْمِ

Ibnu At-Tau-am berkata: “Ruh adalah penopang tubuh, ilmu adalah penopang ruh, dan bayan (penjelasan yang terang) adalah penopang ilmu.”

***

قَدْ قُلْنَا فِي الدَّلَالَةِ بِاللَّفْظِ. فَأَمَّا الْإِشَارَةُ فَبِالْيَدِ، وَبِالرَّأْسِ، وَبِالْعَيْنِ وَالْحَاجِبِ وَالْمَنْكِبِ، إِذَا تَبَاعَدَ الشَّخْصَانِ، وَبِالثَّوْبِ وَبِالسَّيْفِ. وَقَدْ يُهَدِّدُ رَافِعُ السَّيْفِ وَالسَّوْطِ، فَيَكُونُ ذَلِكَ زَاجِرًا، وَمَانِعًا رَادِعًا، وَيَكُونُ وَعِيدًا وَتَحْذِيرًا

Telah kami jelaskan tentang petunjuk melalui kata-kata. Adapun isyarat, dapat dilakukan dengan tangan, kepala, mata, alis, atau bahu, terutama ketika kedua orang saling berjauhan, juga dengan pakaian atau pedang. Kadang kala, orang yang mengangkat pedang atau cambuk memberikan ancaman, yang berfungsi sebagai peringatan, pencegah, dan penghalang, sekaligus menjadi ancaman dan peringatan yang tegas.

***

وَالْإِشَارَةُ وَاللَّفْظُ شَرِيكَانِ، وَنِعْمَ الْعَوْنُ هِيَ لَهُ، وَنِعْمَ التَّرْجُمَانُ هِيَ عَنْهُ. وَمَا أَكْثَرَ مَا تَنُوبُ عَنِ اللَّفْظِ، وَمَا تُغْنِي عَنِ الْخَطِّ

Isyarat dan kata-kata adalah dua mitra yang saling melengkapi. Sungguh, isyarat adalah penolong yang sangat baik baginya, dan penerjemah yang sangat memadai untuknya. Betapa seringnya isyarat menggantikan kata-kata, dan betapa kerapnya ia mampu mencukupi tanpa membutuhkan tulisan.

***

وَبَعْدُ، فَهَلْ تَعْدُو الْإِشَارَةُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ صُورَةٍ مَعْرُوفَةٍ، وَحِلْيَةٍ مَوْصُوفَةٍ، عَلَى اخْتِلَافِهَا فِي طَبَقَاتِهَا وَدَلَالَاتِهَا؟

Kemudian, apakah isyarat itu tidak lebih dari sekadar memiliki bentuk yang telah dikenal dan keindahan yang dapat digambarkan, meskipun berbeda dalam tingkatannya dan makna yang diisyaratkannya?

***

وَفِي الْإِشَارَةِ بِالطَّرْفِ وَالْحَاجِبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْجَوَارِحِ، مَرْفَقٌ كَبِيرٌ وَمَعُونَةٌ حَاضِرَةٌ، فِي أُمُورٍ يَسْتُرُهَا بَعْضُ النَّاسِ مِنْ بَعْضٍ، وَيُخْفُونَهَا مِنَ الْجَلِيسِ وَغَيْرِ الْجَلِيسِ

Dalam isyarat dengan pandangan mata, alis, dan anggota tubuh lainnya terdapat manfaat besar dan pertolongan yang langsung hadir. Ia berguna dalam perkara-perkara yang ingin disembunyikan sebagian orang dari sebagian lainnya, dan dirahasiakan dari orang yang sedang duduk bersama maupun yang tidak.

***

وَلَوْلَا الْإِشَارَةُ لَمْ يَتَفَاهَمِ النَّاسُ مَعْنَى خَاصِّ الْخَاصِّ، وَلَجَهِلُوا هَذَا الْبَابَ الْبَتَّةَ. وَلَوْلَا أَنَّ تَفْسِيرَ هَذِهِ الْكَلِمَةِ يَدْخُلُ فِي بَابِ صِنَاعَةِ الْكَلَامِ لَفَسَّرْتُهَا لَكُمْ

Seandainya bukan karena adanya isyarat, manusia tak akan memahami makna “yang paling istimewa dari yang istimewa,” dan mereka akan sepenuhnya buta terhadap bab ini. Dan jika bukan karena penafsiran kata ini tergolong dalam seni menyusun kata-kata, niscaya aku telah menjelaskannya kepada kalian.

***

وَقَدْ قَالَ الشَّاعِرُ فِي دَلَالَاتِ الْإِشَارَةِ

أَشَارَتْ بِطَرْفِ الْعَيْنِ خِيفَةَ أَهْلِهَا … إِشَارَةَ مَذْعُورٍ وَلَمْ تَتَكَلَّمِ

فَأَيْقَنْتُ أَنَّ الطَّرْفَ قَدْ قَالَ مَرْحَبًا … وَأَهْلًا وَسَهْلًا بِالْحَبِيبِ الْمُتَيَّمِ

Seorang penyair berkata tentang makna isyarat:

Ia memberi isyarat dengan ujung matanya, takut dilihat oleh keluarganya,

Sebuah isyarat penuh kecemasan, tanpa sepatah kata terucap.

Namun aku yakin, tatapan itu telah berkata, “Selamat datang, Wahai kekasih yang dirundung cinta!”

***

وَقَالَ الْآخَرُ

وَلِلْقَلْبِ عَلَى الْقَلْبِ … دَلِيلٌ حِينَ يَلْقَاهُ

وَفِي النَّاسِ مِنَ النَّاسِ … مَقَايِيسُ وَأَشْبَاهُ

وَفِي الْعَيْنِ غِنًى لِلْمَرْءِ … أَنْ تَنْطِقَ أَفْوَاهُ

Penyair yang lain berkata:

Hati memiliki petunjuk untuk hati lainnya, saat ia bertemu dengannya.

Di antara manusia, ada timbangan dan kesamaan yang menunjukkan makna.

Dan dari mata, cukuplah bagi seseorang untuk memahami,

Tanpa perlu mulut mengucapkan kata-kata.

***

وَقَالَ الْآخَرُ فِي هَذَا الْمَعْنَى

وَمَعْشَرُ صَيْدٍ ذَوِي تَجَلُّه … تَرَى عَلَيْهِمْ لِلنَّدَى أَدِلَّه

Penyair yang lain berkata dalam makna ini:

“Sebagai kaum mulia yang dihormati,

Engkau melihat pada mereka tanda-tanda kemurahan hati.”

***

قَالَ الْآخَرُ

تَرَى عَيْنُهَا عَيْنِي فَتَعْرِفُ وَحْيَهَا … وَتَعْرِفُ عَيْنِي مَا بِهِ الْوَحْيُ يَرْجِعُ

Penyair yang lain berkata:

“Matanya memandang mataku, lalu ia memahami isyaratnya,

Dan mataku pun mengerti maksud yang ingin ia kembalikan.”

***

وَقَالَ آخَرُ

وَعَيْنُ الْفَتَى تُبْدِي الَّذِي فِي ضَمِيرِهِ … وَتُعْرَفُ بِالنَّجْوَى الْحَدِيثَ الْمُعَمَّسَا

Penyair yang lain berkata:

“Mata seorang pemuda mengungkapkan apa yang tersembunyi di dalam hatinya,

Dan melalui bisikannya, tampaklah kata-kata yang terselubung.”

***

وَقَالَ الْآخَرُ

الْعَيْنُ تُبْدِي الَّذِي فِي نَفْسِ صَاحِبِهَا … مِنَ الْمَحَبَّةِ أَوْ بُغْضٍ إِذَا كَانَا

وَالْعَيْنُ تَنْطِقُ وَالْأَفْوَاهُ صَامِتَةٌ … حَتَّى تَرَى مِنْ ضَمِيرِ الْقَلْبِ تِبْيَانَا

Penyair yang lain berkata:

“Mata mengungkapkan apa yang tersembunyi di hati pemiliknya,

Baik cinta maupun benci, jika keduanya ada.

Mata berbicara meski mulut tetap bungkam,

Hingga tampaklah penjelasan dari isi hati yang terdalam.”

***

هَذَا وَمَبْلَغُ الْإِشَارَةِ أَبْعَدُ مِنْ مَبْلَغِ الصَّوْتِ. فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ تَتَقَدَّمُ فِيهِ الْإِشَارَةُ الصَّوْتَ

Demikianlah, jangkauan isyarat melampaui jangkauan suara. Maka ini pun merupakan satu bab di mana isyarat mendahului suara.

***

وَالصَّوْتُ هُوَ آلَةُ اللَّفْظِ، وَالْجَوْهَرُ الَّذِي يَقُومُ بِهِ التَّقْطِيعُ، وَبِهِ يُوجَدُ التَّأْلِيفُ. وَلَنْ تَكُونَ حَرَكَاتُ اللِّسَانِ لَفْظًا وَلَا كَلَامًا مَوْزُونًا وَلَا مَنْثُورًا إِلَّا بِظُهُورِ الصَّوْتِ، وَلَا تَكُونُ الْحُرُوفُ كَلَامًا إِلَّا بِالتَّقْطِيعِ وَالتَّأْلِيفِ. وَحُسْنُ الْإِشَارَةِ بِالْيَدِ وَالرَّأْسِ، مِنْ تَمَامِ حُسْنِ الْبَيَانِ بِاللِّسَانِ، مَعَ الَّذِي يَكُونُ مَعَ الْإِشَارَةِ مِنَ الدَّلِّ وَالشَّكْلِ وَالتَّقَتُّلِ وَالتَّثَنِّي، وَاسْتِدْعَاءِ الشَّهْوَةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ

Suara adalah alat bagi kata-kata, dan inti dari proses pemotongan yang dengannya penyusunan dapat terjadi. Gerakan lidah tidak akan menjadi ujaran, apalagi ucapan yang berbobot atau tersusun rapi, kecuali dengan kehadiran suara. Huruf pun tidak akan menjadi ucapan kecuali melalui pemotongan dan penyusunan.

Keindahan isyarat dengan tangan dan kepala adalah pelengkap sempurna bagi keindahan penjelasan dengan lidah. Terlebih lagi, dalam isyarat itu terdapat daya tarik dan keanggunan, gerakan yang penuh pesona dan kelenturan, yang mampu membangkitkan hasrat dan lainnya dari berbagai hal yang memikat.

***

قَدْ قُلْنَا فِي الدَّلَالَةِ بِالْإِشَارَةِ. فَأَمَّا الْخَطُّ، فَمِمَّا ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ مِنْ فَضِيلَةِ الْخَطِّ وَالْإِنْعَامِ بِمَنَافِعِ الْكِتَابِ، قَوْلُهُ لِنَبِيِّهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Kita telah membahas tentang petunjuk melalui isyarat. Adapun mengenai tulisan, Allah Yang Mahatinggi telah menyebutkan dalam kitab-Nya tentang keutamaan tulisan dan anugerah dari manfaat kitab. Firman-Nya kepada Nabi-Nya, semoga salawat dan salam tercurah kepadanya:

“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

***

وَأَقْسَمَ بِهِ فِي كِتَابِهِ الْمُنَزَّلِ، عَلَى نَبِيِّهِ الْمُرْسَلِ، حَيْثُ قَالَ: ن. وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ

Dan Allah bersumpah dengan pena dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang diutus, ketika Dia berfirman:

“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.”

***

وَلِذَلِكَ قَالُوا: الْقَلَمُ أَحَدُ اللِّسَانَيْنِ. كَمَا قَالُوا: قِلَّةُ الْعِيَالِ أَحَدُ الْيَسَارَيْنِ

Oleh karena itu, mereka berkata: “Pena adalah salah satu dari dua lidah.” Sebagaimana mereka juga berkata: “Sedikit tanggungan adalah salah satu bentuk kekayaan.”

***

وَقَالُوا: الْقَلَمُ أَبْقَى أَثَرًا، وَاللِّسَانُ أَكْثَرُ هَذَرًا

Dan mereka berkata: “Pena meninggalkan jejak yang lebih abadi, sedangkan lidah lebih banyak melontarkan kata-kata yang sia-sia.”

***

وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ كَيْسَانَ: اسْتِعْمَالُ الْقَلَمِ أَجْدَرُ أَنْ يُحَضَّ الذِّهْنَ عَلَى تَصْحِيحِ الْكِتَابِ، مِنِ اسْتِعْمَالِ اللِّسَانِ عَلَى تَصْحِيحِ الْكَلَامِ

Abdurrahman bin Kisan berkata: “Menggunakan pena lebih mampu mendorong pikiran untuk menyempurnakan tulisan, dibandingkan menggunakan lidah untuk menyempurnakan ucapan.”

***

وَقَالُوا: اللِّسَانُ مَقْصُورٌ عَلَى الْقَرِيبِ الْحَاضِرِ، وَالْقَلَمُ مُطْلَقٌ فِي الشَّاهِدِ وَالْغَائِبِ، وَهُوَ لِلْغَابِرِ الْحَائِنِ، مِثْلُهُ لِلْقَائِمِ الرَّاهِنِ

Dan mereka berkata: “Lidah terbatas pada yang dekat dan hadir, sedangkan pena bebas menjangkau yang hadir maupun yang tidak hadir. Ia bermanfaat bagi masa yang telah berlalu, sebagaimana ia berguna bagi masa kini yang sedang berlangsung.”

***

وَالْكِتَابُ يُقْرَأُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَيُدْرَسُ فِي كُلِّ زَمَانٍ، وَاللِّسَانُ لَا يَعْدُو سَامِعَهُ، وَلَا يَتَجَاوَزُهُ إِلَى غَيْرِهِ

Tulisan dapat dibaca di setiap tempat dan dipelajari di setiap zaman, sedangkan lidah tidak melampaui pendengarnya dan tidak menjangkau selainnya.

***

وَأَمَّا الْقَوْلُ فِي الْعَقْدِ، وَهُوَ الْحِسَابُ دُونَ اللَّفْظِ وَالْخَطِّ، فَالدَّلِيلُ عَلَى فَضِيلَتِهِ، وَعِظَمِ قَدْرِ الِانْتِفَاعِ بِهِ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

فَالِقُ الْإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ

Adapun pembahasan mengenai ’al-‘aqd’ (penghitungan tanpa kata-kata atau tulisan), maka bukti keutamaannya dan besarnya manfaat yang terkandung di dalamnya adalah firman Allah Yang Mahamulia:

“Dia-lah yang membelah fajar, dan Dia menjadikan malam untuk beristirahat, serta menjadikan matahari dan bulan sebagai perhitungan waktu. Itulah ketetapan (takdir) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.”

***

وقال جل وتقدس: الرَّحْمنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ. خَلَقَ الْإِنْسانَ عَلَّمَهُ الْبَيانَ. الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبانٍ

Dan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Suci, berfirman:

“Tuhan Yang Maha Pemurah. Dialah yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia dan mengajarinya kemampuan berbicara dengan jelas. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan yang cermat.”

***

وقال جل وعز: هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِياءً وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسابَ ما خَلَقَ اللَّهُ ذلِكَ إِلَّا بِالْحَقِ

Dan Allah Yang Maha Mulia berfirman: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya tempat-tempatnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan itu semua melainkan dengan hak.”

وقال

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنا آيَةَ النَّهارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسابَ

Dan Dia berfirman: “Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang terang benderang agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan.”

***

وَالْحِسَابُ يَشْتَمِلُ عَلَى مَعَانٍ كَثِيرَةٍ وَمَنَافِعَ جَلِيلَةٍ، وَلَوْلَا مَعْرِفَةُ الْعِبَادِ بِمَعْنَى الْحِسَابِ فِي الدُّنْيَا، لَمَا فَهِمُوا عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعْنَى الْحِسَابِ فِي الْآخِرَةِ. وَفِي عَدَمِ اللَّفْظِ وَفَسَادِ الْخَطِّ وَالْجَهْلِ بِالْعَقْدِ فَسَادُ جُلِّ النِّعَمِ، وَفُقْدَانُ جُمْهُورِ الْمَنَافِعِ، وَاخْتِلَالُ كُلِّ مَا جَعَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَنَا قِوَامًا، وَمَصْلَحَةً وَنِظَامًا

Perhitungan mencakup banyak makna dan manfaat yang agung. Seandainya hamba-hamba tidak memahami makna perhitungan di dunia, niscaya mereka tidak akan mengerti makna hisab di akhirat yang berasal dari Allah Yang Mahamulia.

Ketiadaan kata-kata, rusaknya tulisan, dan kebodohan dalam menghitung akan merusak sebagian besar nikmat, menghilangkan banyak manfaat, serta mengacaukan segala sesuatu yang telah Allah tetapkan sebagai penopang kehidupan, sarana kemaslahatan, dan tatanan yang teratur.

***

وَأَمَّا النُّصْبَةُ فَهِيَ الْحَالُ النَّاطِقَةُ بِغَيْرِ اللَّفْظِ، وَالْمُشِيرَةُ بِغَيْرِ الْيَدِ. وَذَلِكَ ظَاهِرٌ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَفِي كُلِّ صَامِتٍ وَنَاطِقٍ، وَجَامِدٍ وَنَامٍ، وَمُقِيمٍ وَظَاعِنٍ، وَزَائِدٍ وَنَاقِصٍ. فَالدَّلَالَةُ الَّتِي فِي الْمَوَاتِ الْجَامِدِ، كَالدَّلَالَةِ الَّتِي فِي الْحَيَوَانِ النَّاطِقِ. فَالصَّامِتُ نَاطِقٌ مِنْ جِهَةِ الدَّلَالَةِ، وَالْعَجْمَاءُ مُعْرِبَةٌ مِنْ جِهَةِ الْبُرْهَانِ

Adapun nushbah, ia adalah keadaan yang berbicara tanpa kata-kata dan menunjuk tanpa menggunakan tangan. Hal ini tampak jelas dalam penciptaan langit dan bumi, dalam segala sesuatu yang diam maupun berbicara, yang tak bernyawa maupun hidup, yang menetap maupun berkelana, yang bertambah maupun berkurang.

Tanda-tanda yang terdapat pada benda mati yang tak bernyawa sama seperti tanda-tanda yang terdapat pada makhluk hidup yang berbicara. Maka, sesuatu yang diam sejatinya berbicara melalui petunjuknya, dan sesuatu yang bisu sejatinya mengungkapkan maknanya melalui bukti yang nyata.

***

ولذلك قال الأول

Oleh karena itu, seorang penyair berkata:

سَلِ الْأَرْضَ فَقُلْ: مَنْ شَقَّ أَنْهَارَكِ، وَغَرَسَ أَشْجَارَكِ، وَجَنَى ثِمَارَكِ؟

فَإِنْ لَمْ تُجِبْكَ حِوَارًا، أَجَابَتْكَ اعْتِبَارًا

Tanyakanlah kepada bumi, katakan padanya:

Siapakah yang telah membelah sungai-sungaimu, menanam pepohonanmu, dan memetik buah-buahanmu?

Jika ia tidak menjawabmu dengan kata-kata, niscaya ia akan menjawabmu dengan pelajaran dan ibrah.

***

وَقَالَ بَعْضُ الْخُطَبَاءِ: أَشْهَدُ أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ آيَاتٌ وَآلَاتٌ وَشَوَاهِدُ قَائِمَاتٌ، كُلٌّ يُؤَدِّي عَنكَ الْحُجَّةَ، وَيَشْهَدُ لَكَ بِالرُّبُوبِيَّةِ، مَوْسُومَةٌ بِآثَارِ قُدْرَتِكَ، وَمَعَالِمِ تَدْبِيرِكَ، الَّتِي تَجَلَّيْتَ بِهَا لِخَلْقِكَ، فَأَوْصَلْتَ إِلَى الْقُلُوبِ مِنْ مَعْرِفَتِكَ مَا آنَسَهَا مِنْ وُحْشَةِ الْفِكْرِ، وَرَجْمِ الظُّنُونِ. فَهِيَ عَلَى اعْتِرَافِهَا لَكَ، وَافْتِقَارِهَا إِلَيْكَ، شَاهِدَةٌ بِأَنَّكَ لَا تُحِيطُ بِكَ الصِّفَاتُ، وَلَا تُحَدُّكَ الْأَوْهَامُ، وَإِنَّ حَظَّ الْفِكْرِ فِيكَ، الِاعْتِرَافُ لَكَ

Seorang orator pernah berkata:

“Aku bersaksi bahwa langit dan bumi adalah tanda-tanda kebesaran, perangkat keagungan, dan saksi-saksi yang senantiasa berdiri tegak. Masing-masing dari mereka menyampaikan hujah atas keesaan-Mu dan menjadi saksi atas ketuhanan-Mu. Mereka bertanda dengan jejak kekuasaan-Mu, dan bercorak dengan bukti pengaturan-Mu, yang dengannya Engkau menampakkan diri kepada makhluk-Mu. Maka, Engkau telah menyampaikan ke dalam hati manusia suatu pengenalan akan diri-Mu, yang dengannya hati menjadi tenteram dari kegelisahan pikiran dan terhindar dari prasangka yang sesat.

Maka, dengan segala pengakuan mereka terhadap-Mu dan ketergantungan mereka kepada-Mu, mereka bersaksi bahwa Engkau tak dapat dijangkau oleh segala sifat, tak dapat dibatasi oleh segala bayangan dalam benak. Sesungguhnya, puncak dari pemikiran tentang diri-Mu hanyalah pengakuan akan kebesaran-Mu.”

***

وَقَالَ خَطِيبٌ مِنَ الْخُطَبَاءِ، حِينَ قَامَ عَلَى سَرِيرِ الْإِسْكَنْدَرِ وَهُوَ مَيِّتٌ

Seorang orator berdiri di atas ranjang kematian Iskandar, lalu berkata…

الإِسْكَنْدَرُ كَانَ أَمْسِ أَنْطَقَ مِنْهُ الْيَوْمَ، وَهُوَ الْيَوْمَ أَوْعَظُ مِنْهُ أَمْسِ

“Iskandar, kemarin lebih fasih berbicara daripada hari ini. Namun hari ini, ia lebih memberi pelajaran daripada kemarin.”

***

وَمَتَى دَلَّ الشَّيْءُ عَلَى مَعْنًى فَقَدْ أَخْبَرَ عَنْهُ وَإِنْ كَانَ صَامِتًا، وَأَشَارَ إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَ سَاكِتًا. وَهَذَا الْقَوْلُ شَائِعٌ فِي جَمِيعِ اللُّغَاتِ، وَمُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ إِفْرَاطِ الِاخْتِلَافَاتِ

“Apabila sesuatu menunjukkan sebuah makna, maka ia telah menyampaikan berita meskipun dalam diam, dan telah memberikan isyarat meskipun tanpa kata. Pernyataan ini berlaku dalam semua bahasa, disepakati oleh akal, meskipun perbedaan di antara manusia begitu luas membentang.”

***

وَقَالَ عَنْتَرَةُ بْنُ شَدَّادٍ الْعَبْسِيُّ: جَعَلَ نَعِيبَ الْغُرَابِ خَبَرًا لِلزَّاجِرِ.

Antarah bin Shaddad al-‘Absi berkata: “Ia menjadikan suara gagak sebagai pertanda bagi peramal.”

***

حَرَّقَ الْجَنَاحَ كَأَنَّ لِحْيَيْ رَأْسِهِ *** جِلْمَانِ بِالْأَخْبَارِ هَشٌّ مُولَعُ

“Ia mengepakkan sayapnya, seolah-olah kedua sisi kepalanya adalah dua pemuda yang penuh semangat, bergegas menyampaikan berita dengan gairah yang menyala.”

***

الحَرَقُ: الأَسْوَدُ. شَبَّهَ لِحْيَيْهِ بِالجِلْمَانِ، لِأَنَّ الغُرَابَ يُخْبِرُ بِالفُرْقَةِ وَالغُرْبَةِ وَيَقْطَعُ كَمَا يَقْطَعُ الجِلْمَانُ

Al-Ḥaraq berarti hitam. Ia menyerupakan kedua sisi rahangnya dengan dua bilah pedang, karena burung gagak membawa kabar tentang perpisahan dan keterasingan, serta memutus sebagaimana pedang pun memutus.

***

وَأَنْشَدَنِي أَبُو الرُّدَيْنِيِّ الْعُكْلِيُّ، فِي تَنَسُّمِ الذِّئْبِ الرِّيحَ وَاسْتِنْشَائِهِ وَاسْتِرْوَاحِهِ

Abu al-Rudayni al-‘Ukli melantunkan syair kepadaku tentang serigala yang mengendus angin, menghirupnya, dan mencari kesejukan darinya.

***

يَسْتَخْبِرُ الرِّيحَ إِذَا لَمْ يَسْمَعْ *** بِمِثْلِ مِقْرَاعِ الصَّفَا الْمُوقِعِ

Ia mencari kabar dari angin ketika tak ada suara yang terdengar, laksana batu cadas yang diketuk hingga berbunyi.

***

المِقْرَاعُ: الفَأْسُ الَّتِي يُكْسَرُ بِهَا الصَّخْرُ. وَالمُوقِعُ: المُحَدَّدُ. يُقَالُ: وَقَّعْتُ الحَدِيدَةَ إِذَا حَدَّدْتَهَا

Al-Miqrā‘ adalah kapak yang digunakan untuk memecah batu. Adapun al-Mawqi‘ berarti yang tajam.

Dikatakan, ‘Waqqa‘tu al-ḥadīdah’ jika seseorang menajamkan besi.

***

وَقَالَ آخَرُ، وَهُوَ الرَّاعِي

إِنَّ السَّمَاءَ وَإِنَّ الرِّيحَ شَاهِدَةٌ *** وَالأَرْضُ تَشْهَدُ وَالأَيَّامُ وَالْبَلَدُ

لَقَدْ جَزَيْتُ بَنِي بَدْرٍ بِبَغْيِهِمُ *** يَوْمَ الهَبَاءَةِ يَوْمًا مَا لَهُ قَوَدُ

Seorang penyair lain, yaitu ar-Ra’i, berkata:

“Sesungguhnya langit dan angin menjadi saksi,

Bumi pun menyaksikan, begitu pula hari-hari dan negeri.

Sungguh, telah kuberikan balasan kepada Bani Badr atas kezalimannya,

Pada hari al-Hubā’ah, hari yang tiada tebusannya lagi.”

***

وَقَالَ نُصَيْبٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى، يَمْدَحُ سُلَيْمَانَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ

أَقُولُ لِرَكْبٍ صَادِرِينَ لَقِيتُهُمْ *** قِفَا ذَاتَ أَوْشَالٍ وَمَوْلَاكَ قَارِبُ

قِفُوا خَبِّرُونَا عَنْ سُلَيْمَانَ إِنَّنِي *** لِمَعْرُوفِهِ مِنْ أَهْلِ وَدَّانَ طَالِبُ

فَعَاجُوا فَأَثْنَوْا بِالَّذِي أَنْتَ أَهْلُهُ *** وَلَوْ سَكَتُوا أَثْنَتْ عَلَيْكَ الْحَقَائِبُ

Nashib berkata dalam pujiannya kepada Sulaiman bin Abdul Malik:

“Kepada kafilah yang hendak pergi kutegur mereka,

di padang yang beriak airnya, sementara tuanmu telah dekat.

Berhentilah, kabarkan kepadaku tentang Sulaiman,

karena aku, dari penduduk Waddān, mencari kebaikannya.

Mereka pun berhenti dan memujinya sebagaimana layak baginya,

namun andai mereka diam, kafilah pun tetap akan memujinya.”

وهذا كثير جدا

Ini sangatlah banyak.

***

[[أحسن الكلام]]
Sebaik-baik Ucapan

وَقَالَ عَلِيٌّ رَحِمَهُ اللَّهُ: «قِيمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحْسِنُ». فَلَوْ لَمْ نَقِفْ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ إِلَّا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَوَجَدْنَاهَا شَافِيَةً كَافِيَةً، وَمُجْزِئَةً مُغْنِيَةً، بَلْ لَوَجَدْنَاهَا فَاضِلَةً عَنِ الْكِفَايَةِ، وَغَيْرَ مُقَصِّرَةٍ عَنِ الْغَايَةِ

Ali—rahimahullah—berkata: “Nilai setiap insan adalah sejauh mana ia menguasai sesuatu dengan baik.”

Andai kita tidak mendapatkan apa pun dari kitab ini kecuali kalimat ini, sungguh ia telah cukup menjadi penyembuh dan pemenuh kebutuhan. Bahkan, ia lebih dari sekadar mencukupi dan tidak kurang sedikit pun untuk mencapai tujuan.

***

وَأَحْسَنُ الْكَلَامِ مَا كَانَ قَلِيلُهُ يُغْنِيكَ عَنْ كَثِيرِهِ، وَمَعْنَاهُ فِي ظَاهِرِ لَفْظِهِ، وَكَانَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَلْبَسَهُ مِنَ الْجَلَالَةِ، وَغَشَّاهُ مِنْ نُورِ الْحِكْمَةِ عَلَى حَسَبِ نِيَّةِ صَاحِبِهِ، وَتَقْوَى قَائِلِهِ

Sebagus-bagusnya perkataan adalah yang sedikitnya mencukupkanmu dari banyaknya, maknanya tersingkap dalam zahir lafaznya, dan Allah—’Azza wa Jalla—telah menyelimutinya dengan keagungan serta menyelubunginya dengan cahaya hikmah, sesuai dengan niat pengucapnya dan ketakwaan orang yang mengatakannya.

***

فَإِذَا كَانَ الْمَعْنَى شَرِيفًا وَاللَّفْظُ بَلِيغًا، وَكَانَ صَحِيحَ الطَّبْعِ، بَعِيدًا مِنَ الِاسْتِكْرَاهِ، وَمُنَزَّهًا عَنِ الِاخْتِلَالِ، مَصُونًا عَنِ التَّكَلُّفِ، صَنَعَ فِي الْقُلُوبِ صَنِيعَ الْغَيْثِ فِي التُّرْبَةِ الْكَرِيمَةِ

Apabila makna itu mulia dan lafaznya fasih; apabila ia lahir dari tabiat yang lurus, jauh dari kepaksaan, suci dari kecacatan, serta terjaga dari kepura-puraan, maka ia akan berbuat dalam hati sebagaimana hujan menyuburkan tanah yang subur.

***

وَمَتَى فُصِّلَتِ الْكَلِمَةُ عَلَى هَذِهِ الشَّرِيطَةِ، وَنَفَذَتْ مِنْ قَائِلِهَا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ، أَصْحَبَهَا اللَّهُ مِنَ التَّوْفِيقِ، وَمَنَحَهَا مِنَ التَّأْيِيدِ، مَا لَا يَمْتَنِعُ مَعَهُ مِنْ تَعْظِيمِهَا صُدُورُ الْجَبَابِرَةِ، وَلَا يَذْهَلُ عَنْ فَهْمِهَا مَعَهُ عُقُولُ الْجُهَّالِ

Apabila sebuah kata dirangkai dengan syarat ini, dan meluncur dari pengucapnya dengan sifat demikian, niscaya Allah akan menyertainya dengan taufik dan menganugerahinya kekuatan. Hingga tak ada dada para tiran yang mampu menghinakannya, dan tak ada akal kaum awam yang lalai dari memahaminya.

***

وَقَدْ قَالَ عَامِرُ بْنُ عَبْدِ قَيْسٍ: الْكَلِمَةُ إِذَا خَرَجَتْ مِنَ الْقَلْبِ وَقَعَتْ فِي الْقَلْبِ، وَإِذَا خَرَجَتْ مِنَ اللِّسَانِ لَمْ تُجَاوِزِ الْآذَانَ

Sebuah kata, apabila keluar dari hati, niscaya akan menetap di hati. Namun, bila hanya keluar dari lisan, maka ia takkan melewati sekadar pendengaran.

***

وَقَالَ الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَسَمِعَ رَجُلًا يَعِظُ، فَلَمْ تَقَعْ مَوْعِظَتُهُ بِمَوْضِعٍ مِنْ قَلْبِهِ، وَلَمْ يَرِقَّ عِنْدَهَا، فَقَالَ لَهُ: يَا هَذَا، إِنَّ بِقَلْبِكَ لَشَرًّا أَوْ بِقَلْبِي

Al-Hasan—rahimahullah—pernah mendengar seseorang menyampaikan nasihat, namun nasihat itu tak menyentuh hatinya, dan tiada kelembutan yang ia rasakan darinya. Maka ia pun berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, mungkinkah ada keburukan dalam hatimu, atau justru dalam hatiku?”

***

وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رَحِمَهُ اللَّهُ: لَوْ كَانَ النَّاسُ يَعْرِفُونَ جُمْلَةَ الْحَالِ فِي فَضْلِ الِاسْتِبَانَةِ، وَجُمْلَةَ الْحَالِ فِي صَوَابِ التَّبْيِينِ، لَأَعْرَبُوا عَنْ كُلِّ مَا تَخْلِجُ فِي صُدُورِهِمْ، وَلَوَجَدُوا مِنْ بَرْدِ الْيَقِينِ مَا يُغْنِيهِمْ عَنِ الْمُنَازَعَةِ إِلَى كُلِّ حَالٍ سِوَى حَالِهِمْ. وَعَلَى أَنَّ دَرْكَ ذَلِكَ كَانَ لَا يَعْدِمُهُمْ فِي الْأَيَّامِ الْقَلِيلَةِ الْعِدَّةِ، وَالْفِكْرَةِ الْقَصِيرَةِ الْمُدَّةِ، وَلَكِنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ مَغْمُورٍ بِالْجَهْلِ، وَمَفْتُونٍ بِالْعُجْبِ، وَمَعْدُولٍ بِالْهَوَى عَنْ بَابِ التَّثَبُّتِ، وَمَصْرُوفٍ بِسُوءِ الْعَادَةِ عَنْ فَضْلِ التَّعَلُّمِ

Ali bin Husain bin Ali—rahimahullah—berkata:

“Seandainya manusia memahami betapa agungnya keutamaan kejernihan dalam memahami, dan betapa benarnya kebijaksanaan dalam menjelaskan, niscaya mereka mampu mengungkapkan segala yang bergejolak dalam dada mereka. Niscaya mereka akan merasakan kesejukan keyakinan yang membuat mereka tidak lagi tergoda untuk mencari keadaan lain di luar keadaan mereka sendiri. Padahal, andai mereka mencarinya, takkan sulit bagi mereka untuk meraihnya dalam hitungan hari yang singkat dan dalam renungan yang tak berpanjangan. Akan tetapi, di antara mereka ada yang tenggelam dalam kebodohan, ada yang tertipu oleh keangkuhan, ada yang terbelokkan oleh hawa nafsu dari jalan ketelitian, dan ada yang terhalang oleh kebiasaan buruk dari keutamaan menuntut ilmu.”

***

وَقَدْ جَمَعَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ صَلَاحَ شَأْنِ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا فِي كَلِمَتَيْنِ، فَقَالَ: صَلَاحُ شَأْنِ جَمِيعِ التَّعَايُشِ وَالتَّعَاشُرِ، مِلْءُ مِكْيَالٍ ثُلُثَاهُ فِطْنَةٌ، وَثُلُثُهُ تَغَافُلٌ

Muhammad bin Ali bin Husain telah merangkum seluruh kebaikan dalam urusan dunia dalam dua kalimat yang ringkas namun penuh hikmah. Ia berkata:

“Kesempurnaan dalam hidup bersama dan menjalin hubungan sesama manusia bagaikan takaran penuh: dua pertiganya adalah kecerdasan, dan sepertiganya adalah sikap pura-pura tidak tahu.”

***

فَلَمْ يَجْعَلْ لِغَيْرِ الْفِطْنَةِ نَصِيبًا مِنَ الْخَيْرِ، وَلَا حَظًّا فِي الصَّلَاحِ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَتَغَافَلُ إِلَّا عَنْ شَيْءٍ قَدْ فَطِنَ لَهُ وَعَرَفَهُ

Maka ia tidak memberikan bagian dari kebaikan dan kebijaksanaan kepada selain kecerdasan. Sebab, seseorang tidak akan berpura-pura tidak tahu kecuali terhadap sesuatu yang telah ia pahami dan sadari sebelumnya.

***

وَذَكَرَ هَذِهِ الثَّلَاثَةَ الْأَخْبَارَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ دَاحَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَيْرٍ. وَذَكَرَهَا صَالِحُ بْنُ عَلِيٍّ الْأَفْقَمُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَيْرٍ. وَهَؤُلَاءِ جَمِيعًا مِنْ مَشَايِخِ الشِّيَعِ، وَكَانَ ابْنُ عُمَيْرٍ أَغْلَاهُمْ

Dan ketiga riwayat ini disebutkan oleh Ibrahim bin Dāḥah dari Muḥammad bin ʿUmayr. Juga diriwayatkan oleh Ṣāliḥ bin ʿAlī al-Afqam dari Muḥammad bin ʿUmayr. Mereka semua termasuk para syaikh dari kalangan Syīʿah, dan di antara mereka, Ibn ʿUmayr adalah yang paling berharga ilmunya.

***

وَأَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ السِّنْدِيِّ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ الْحَاجِبِ، عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: قِيلَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّى لَكَ هَذَا الْعِلْمُ؟ قَالَ: قَلْبٌ عَقُولٌ، وَلِسَانٌ سَؤُولٌ. وَقَدْ رَوَوْا هَذَا الْكَلَامَ عَنْ دُغْفُلِ بْنِ حَنْظَلَةَ الْعَلَّامَةِ

Dan Ibrahim bin as-Sindī menceritakan kepadaku, dari ʿAlī bin Ṣāliḥ al-Ḥājib, dari al-ʿAbbās bin Muḥammad, ia berkata: Ada yang bertanya kepada ʿAbdullāh bin ʿAbbās, “Dari mana engkau memperoleh ilmu ini?” Maka ia menjawab, “Hati yang berpikir dan lisan yang selalu bertanya.” Dan telah diriwayatkan pula ungkapan ini dari Dugḥfal bin Ḥanẓalah al-ʿAllāmah.

***

وَعَبْدُ اللَّهِ أَوْلَى بِهِ مِنْهُ. وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ قَوْلُ الْحَسَنِ: إِنَّ أَوَّلَ مَنْ عُرِفَ بِالْبَصْرَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ، صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَفَسَّرَهَا حَرْفًا حَرْفًا، وَكَانَ مُثَجًّا يَسِيلُ غَرْبًا

Dan ʿAbdullāh lebih berhak atasnya daripada yang lain. Bukti dari hal itu adalah perkataan al-Ḥasan: “Sesungguhnya orang pertama yang dikenal di Baṣrah adalah Ibn ʿAbbās. Ia naik mimbar, lalu membaca Surah al-Baqarah, kemudian menafsirkannya huruf demi huruf. Ia bagaikan mata air yang melimpah deras dan mengalir tanpa henti.”

***

المُثَجُّ: السَّائِلُ الكَثِيرُ، وَهُوَ مِنَ الثَجَّاجِ. وَالغَرْبُ، هَا هُنَا: الدَّوَامُ

Al-Muthajj adalah yang mengalir deras, berasal dari kata ath-thajjāj (curahan air yang deras). Adapun al-gharb dalam konteks ini berarti kesinambungan dan keberlanjutan tanpa henti.

***

هشامُ بنُ حسّانَ وغيرُه، قالَ: قيلَ للحسنِ: يا أبا سعيدٍ، إنَّ قومًا زعموا أنَّكَ تَذُمُّ ابنَ عبّاسٍ

Hisyam bin Hassan dan yang lainnya berkata: Dikatakan kepada Al-Hasan, “Wahai Abu Sa‘id, sungguh ada suatu kaum yang mengira bahwa engkau mencela Ibn ‘Abbas.”

***

قَالُوا: فَبَكَى حَتَّى ٱخْضَلَّتْ لِحْيَتُهُ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ مِنَ الْإِسْلَامِ بِمَكَانٍ، إِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ مِنَ الْقُرْآنِ بِمَكَانٍ، وَكَانَ وَاللهِ لَهُ لِسَانٌ سَؤُولٌ، وَقَلْبٌ عَقُولٌ، وَكَانَ وَاللهِ مَثَجًا يَسِيلُ غَرْبًا

Mereka berkata: Kemudian ia menangis hingga basah jenggotnya, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Ibn ‘Abbas adalah seorang yang memiliki kedudukan tinggi dalam Islam, sesungguhnya Ibn ‘Abbas memiliki kedudukan tinggi dalam Al-Qur’an. Demi Allah, ia memiliki lidah yang penuh pertanyaan, dan hati yang cerdas. Demi Allah, ia adalah seorang yang penuh dengan ilmu, bagaikan aliran yang tak pernah berhenti.”

Alternatif terjemahan:
Mereka berkata: Maka ia pun menangis hingga janggutnya basah oleh air mata, lalu berkata: “Sungguh, Ibnu Abbas menempati kedudukan mulia dalam agama Islam. Sungguh, Ibnu Abbas menempati kedudukan agung dalam ilmu Al-Qur’an. Demi Allah, beliau memiliki lidah yang fasih memohon kebenaran, hati yang cerdas penuh kebijaksanaan. Dan demi Allah, beliau laksana mata air jernih yang mengalir deras tiada henti.”

***


قَالُوا: وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ: مَنْ لَمْ يَجِدْ مَسَّ الْجَهْلِ فِي عَقْلِهِ، وَذُلَّ الْمَعْصِيَةِ فِي قَلْبِهِ، وَلَمْ يَسْتَبِنْ مَوْضِعَ الْخِلَّةِ فِي لِسَانِهِ، عِنْدَ كَلَالِ حَدِّهِ عَنْ حَدِّ خَصْمِهِ، فَلَيْسَ مِمَّنْ يَنْزِعُ عَنْ رِيبَةٍ، وَلَا يَرْغَبُ عَنْ حَالِ مُعْجِزَةٍ، وَلَا يَكْتَرِثُ لِفَصْلِ مَا بَيْنَ حُجَّةٍ وَشُبْهَةٍ


Mereka berkata:
Dan Ali bin Abdullah bin Abbas pun berkata:
“Siapa yang tidak merasakan sentuhan kebodohan dalam pikirannya, kehinaan dosa dalam hatinya, dan tidak mampu menemukan titik kelemahan dalam ucapan lawannya ketika ia mulai kehilangan ketajaman dalam berdebat, maka ia bukanlah termasuk orang yang mampu melepaskan diri dari keraguan, tidak tertarik untuk meninggalkan keadaan yang membingungkan, dan tidak peduli untuk membedakan antara argumen yang kuat dan keraguan yang samar.”


  1. مَسَّ الْجَهْلِ diterjemahkan menjadi “sentuhan kebodohan” (sesuai KBBI: sentuhan = pengaruh yang dirasakan).
  2. ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ diterjemahkan menjadi “kehinaan dosa” (sesuai KBBI: hina = rendah, tidak bermartabat).
  3. مَوْضِعَ الْخِلَّةِ diterjemahkan menjadi “titik kelemahan” (sesuai KBBI: titik = bagian yang penting).
  4. كَلَالِ حَدِّهِ diterjemahkan menjadi “kehilangan ketajaman” (sesuai KBBI: tajam = mampu berpikir dengan cepat dan cermat).
  5. فَصْلِ مَا بَيْنَ حُجَّةٍ وَشُبْهَةٍ diterjemahkan menjadi “membedakan antara argumen yang kuat dan keraguan yang samar” (sesuai KBBI: argumen = alasan yang diberikan untuk memperkuat pendapat).

***

قَالُوا: وَذَكَرَ مُحَمَّدٌ بْنُ عَلِيٍّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، بَلَاغَةَ بَعْضِ أَهْلِهِ فَقَالَ: إِنِّي لَأَكْرَهُ أَنْ يَكُونَ مِقْدَارُ لِسَانِهِ فَاضِلاً عَلَى مِقْدَارِ عِلْمِهِ، كَمَا أَكْرَهُ أَنْ يَكُونَ مِقْدَارُ عِلْمِهِ فَاضِلاً عَلَى مِقْدَارِ عَقْلِهِ

Mereka berkata: Dan Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas menyebutkan kefasihan salah satu keluarganya dan berkata: “Sesungguhnya saya sangat membenci jika ukuran lidahnya lebih banyak dibandingkan dengan ukuran ilmunya, sebagaimana saya juga membenci jika ukuran ilmu seseorang lebih banyak dibandingkan dengan ukuran akalnya.”

Penjelasan:

1. مِقْدَارُ لِسَانِهِ diterjemahkan menjadi “ukuran lidahnya” (sesuai KBBI: ukuran = besar atau kecilnya sesuatu).

2. مِقْدَارُ عِلْمِهِ diterjemahkan menjadi “ukuran ilmunya” (sesuai KBBI: ilmu = pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran).

3. مِقْدَارُ عَقْلِهِ diterjemahkan menjadi “ukuran akalnya” (sesuai KBBI: akal = kemampuan berpikir atau penalaran).


  1. بَلَاغَةَ diterjemahkan menjadi “kefasihan” (sesuai KBBI: fasih = lancar dan jelas dalam berbicara).
  2. مِقْدَارُ لِسَانِهِ diterjemahkan menjadi “kemampuan lidah” (sesuai KBBI: kemampuan = kesanggupan untuk melakukan sesuatu).
  3. فَاضِلًا عَلَى diterjemahkan menjadi “melebihi” (sesuai KBBI: melebihi = lebih tinggi atau lebih besar dari yang lain).
  4. عِلْمِهِ dan عَقْلِهِ diterjemahkan menjadi “ilmunya” dan “akalnya” (sesuai KBBI: ilmu = pengetahuan; akal = daya pikir).

***


وَهَذَا كَلَامٌ شَرِيفٌ نَافِعٌ، فَاحْفَظُوا لَفْظَهُ وَتَدَبَّرُوا مَعْنَاهُ، ثُمَّ اعْلَمُوا أَنَّ الْمَعْنَى الْحَقِيرَ الْفَاسِدَ، وَالدَّنِيَ السَّاقِطَ، يَعْشِشُ فِي الْقَلْبِ ثُمَّ يَبِيضُ ثُمَّ يَفْرِخُ، فَإِذَا ضَرَبَ بِجِرَانِهِ وَمَكَّنَ لِعُرُوقِهِ، اسْتَفْحَلَ الْفَسَادُ وَبَزَلَ، وَتَمَكَّنَ الْجَهْلُ وَقَرَحَ، فَعِنْدَ ذَلِكَ يَقْوَى دَاؤُهُ، وَيَمْتَنِعُ دَوَاؤُهُ، لِأَنَّ اللَّفْظَ الْهَجِينَ الرَّدِيَ، وَالْمُسْتَكْرَهَ الْغَبِيَ، أَلْصَقُ بِاللِّسَانِ، وَآلَفُ لِلسَّمْعِ، وَأَشَدُّ الْتِحَامًا بِالْقَلْبِ مِنَ اللَّفْظِ النَّبِيهِ الشَّرِيفِ، وَالْمَعْنَى الرَّفِيعِ الْكَرِيمِ


Dan ini adalah perkataan yang mulia dan bermanfaat, maka hafalkanlah lafalnya dan renungkanlah maknanya. Kemudian ketahuilah bahwa makna yang hina dan rusak, serta rendah dan tercela, akan bersarang di dalam hati, lalu bertelur, dan menetas. Jika ia telah berakar dan menancap kuat, maka kerusakan akan meluas dan merajalela, serta kebodohan akan menguat dan merasuk. Pada saat itu, penyakitnya akan semakin kuat, dan obatnya akan sulit ditemukan. Sebab, ungkapan yang buruk dan kasar, serta yang dibenci dan dungu, lebih mudah melekat pada lidah, lebih akrab di telinga, dan lebih kuat menempel di hati daripada ungkapan yang cerdas dan mulia, serta makna yang tinggi dan terhormat.


  1. شَرِيفٌ نَافِعٌ diterjemahkan menjadi “mulia dan bermanfaat” (sesuai KBBI: mulia = tinggi martabatnya; bermanfaat = berguna).
  2. يَعْشِشُ diterjemahkan menjadi “bersarang” (sesuai KBBI: bersarang = menetap dan berkembang).
  3. ضَرَبَ بِجِرَانِهِ diterjemahkan menjadi “berakar” (sesuai KBBI: berakar = menancap kuat).
  4. اسْتَفْحَلَ الْفَسَادُ diterjemahkan menjadi “kerusakan meluas” (sesuai KBBI: meluas = menyebar ke mana-mana).
  5. اللَّفْظَ الْهَجِينَ الرَّدِيَ diterjemahkan menjadi “ungkapan yang buruk dan kasar” (sesuai KBBI: buruk = tidak baik; kasar = tidak halus).
  6. النَّبِيهِ الشَّرِيفِ diterjemahkan menjadi “cerdas dan mulia” (sesuai KBBI: cerdas = cepat mengerti; mulia = tinggi martabatnya).

***


وَلَوْ جَالَسْتَ الْجُهَّالَ وَالنُّوكَى، وَالسُّفَهَاءَ وَالْحُمْقَى، شَهْرًا فَقَطْ، لَمْ تَنْقَ مِنْ أَوْضَارِ كَلَامِهِمْ، وَخَبَالِ مَعَانِيهِمْ، بِمُجَالَسَةِ أَهْلِ الْبَيَانِ وَالْعَقْلِ دَهْرًا، لِأَنَّ الْفَسَادَ أَسْرَعُ إِلَى النَّاسِ، وَأَشَدُّ الْتِحَامًا بِالطَّبَائِعِ. وَالْإِنْسَانُ بِالتَّعَلُّمِ وَالتَّكَلُّفِ، وَبِطُولِ الِاخْتِلَافِ إِلَى الْعُلَمَاءِ، وَمُدَارَسَةِ كُتُبِ الْحُكَمَاءِ، يُجُودُ لَفْظَهُ وَيُحْسِنُ أَدَبَهُ، وَهُوَ لَا يَحْتَاجُ فِي الْجَهْلِ إِلَى أَكْثَرَ مِنْ تَرْكِ التَّعَلُّمِ، وَفِي فَسَادِ الْبَيَانِ إِلَى أَكْثَرَ مِنْ تَرْكِ التَّخَيُّرِ


Dan jika engkau bergaul dengan orang-orang bodoh, dungu, sembrono, dan kurang akal, meski hanya sebulan, engkau tidak akan bisa membersihkan diri dari kotoran ucapan mereka dan keburukan makna yang mereka bawa, meski engkau bergaul dengan orang-orang fasih dan berakal selama bertahun-tahun. Sebab, kerusakan lebih cepat menular kepada manusia dan lebih kuat melekat pada tabiatnya. Manusia, dengan belajar dan berusaha keras, serta sering berkunjung kepada para ulama dan mempelajari kitab-kitab para bijak bestari, akan memperhalus ucapannya dan memperbaiki adabnya. Namun, untuk menjadi bodoh, ia tidak perlu lebih dari sekadar meninggalkan belajar; dan untuk merusak kefasihan, ia tidak perlu lebih dari sekadar meninggalkan pemilihan kata yang baik.


  1. الْجُهَّالَ diterjemahkan menjadi “orang-orang bodoh” (sesuai KBBI: bodoh = tidak berpengetahuan).
  2. النُّوكَى diterjemahkan menjadi “dungu” (sesuai KBBI: dungu = kurang akal).
  3. السُّفَهَاءَ diterjemahkan menjadi “sembrono” (sesuai KBBI: sembrono = tidak hati-hati).
  4. الْحُمْقَى diterjemahkan menjadi “kurang akal” (sesuai KBBI: kurang akal = tidak cerdas).
  5. أَوْضَارِ diterjemahkan menjadi “kotoran” (sesuai KBBI: kotoran = sesuatu yang mengotori).
  6. خَبَالِ diterjemahkan menjadi “keburukan” (sesuai KBBI: buruk = tidak baik).
  7. الْبَيَانِ diterjemahkan menjadi “kefasihan” (sesuai KBBI: fasih = lancar dan jelas dalam berbicara).
  8. التَّخَيُّرِ diterjemahkan menjadi “pemilihan kata yang baik” (sesuai KBBI: pemilihan = proses memilih).


وَمِمَّا يُؤَكِّدُ قَوْلَ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَوْلُ بَعْضِ الْحُكَمَاءِ حِينَ قِيلَ لَهُ: مَتَى يَكُونُ الْأَدَبُ شَرًّا مِنْ عَدَمِهِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَ الْأَدَبُ، وَنَقَصَتِ الْقَرِيحَةُ


Dan di antara hal yang menguatkan perkataan Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas adalah ucapan sebagian bijak bestari ketika ditanya, “Kapan adab menjadi lebih buruk daripada ketiadaannya?” Ia menjawab, “Ketika adab menjadi berlebihan, tetapi daya kreativitas berkurang.”


  1. يُؤَكِّدُ diterjemahkan menjadi “menguatkan” (sesuai KBBI: menguatkan = membuat lebih kuat atau meyakinkan).
  2. الْأَدَبُ diterjemahkan menjadi “adab” (sesuai KBBI: adab = tata cara atau sopan santun).
  3. شَرًّا diterjemahkan menjadi “lebih buruk” (sesuai KBBI: buruk = tidak baik).
  4. عَدَمِهِ diterjemahkan menjadi “ketiadaannya” (sesuai KBBI: tiada = tidak ada).
  5. الْقَرِيحَةُ diterjemahkan menjadi “daya kreativitas” (sesuai KBBI: kreativitas = kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru). Bisa juga diartikan dengan “Naluri“.


***


وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْأَوَّلِينَ: مَنْ لَمْ يَكُنْ عَقْلُهُ أَغْلَبَ خِصَالِ الْخَيْرِ عَلَيْهِ، كَانَ حَتْفُهُ فِي أَغْلَبِ خِصَالِ الْخَيْرِ عَلَيْهِ. وَهَذَا كُلُّهُ قَرِيبٌ بَعْضُهُ مِنْ بَعْضٍ

Dan sebagian orang-orang terdahulu pernah berkata, “Barang siapa yang akalnya tidak menguasai sebagian besar sifat-sifat baik dalam dirinya, maka kematiannya akan terjadi karena sebagian besar sifat-sifat baik itu.” Dan semua ini saling berkaitan satu sama lain.


  1. عَقْلُهُ diterjemahkan menjadi “akalnya” (sesuai KBBI: akal = daya pikir).
  2. أَغْلَبَ diterjemahkan menjadi “menguasai” (sesuai KBBI: menguasai = memiliki kendali atas sesuatu).
  3. خِصَالِ الْخَيْرِ diterjemahkan menjadi “sifat-sifat baik” (sesuai KBBI: sifat = ciri khas; baik = positif atau terpuji).
  4. حَتْفُهُ diterjemahkan menjadi “kematiannya” (sesuai KBBI: kematian = akhir kehidupan).
  5. قَرِيبٌ بَعْضُهُ مِنْ بَعْضٍ diterjemahkan menjadi “saling berkaitan satu sama lain” (sesuai KBBI: berkaitan = memiliki hubungan).

***


وَذَكَرَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَحِمَهُ اللهُ فَقَالَ: كَانَ وَاللهِ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُخْدَعَ، وَأَعْقَلَ مِنْ أَنْ يُخْدَعَ


Dan Al-Mughirah bin Syu’bah menyebutkan Umar bin Khattab, semoga Allah merahmatinya, lalu berkata, “Demi Allah, dia terlalu mulia untuk bisa ditipu, dan terlalu cerdas untuk bisa dikelabui.”


  1. أَفْضَلَ diterjemahkan menjadi “terlalu mulia” (sesuai KBBI: mulia = tinggi martabatnya).
  2. يُخْدَعَ diterjemahkan menjadi “ditipu” (sesuai KBBI: tipu = perbuatan memperdaya).
  3. أَعْقَلَ diterjemahkan menjadi “terlalu cerdas” (sesuai KBBI: cerdas = cepat mengerti).
  4. يُخْدَعَ diterjemahkan menjadi “dikelabui” (sesuai KBBI: kelabui = diperdaya dengan tipu muslihat).

***


وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ: كَفَاكَ مِنْ عِلْمِ الدِّينِ أَنْ تَعْرِفَ مَا لَا يَسَعُ جَهْلُهُ، وَكَفَاكَ مِنْ عِلْمِ الْأَدَبِ أَنْ تَرْوِيَ الشَّاهِدَ وَالْمَثَلَ



Dan Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas berkata, “Cukuplah bagimu dalam ilmu agama mengetahui hal-hal yang tidak boleh diabaikan, dan cukuplah bagimu dalam ilmu sastra menghafal syair dan peribahasa.”


  1. عِلْمِ الدِّينِ diterjemahkan menjadi “ilmu agama” (sesuai KBBI: agama = sistem kepercayaan kepada Tuhan).
  2. لَا يَسَعُ جَهْلُهُ diterjemahkan menjadi “tidak boleh diabaikan” (sesuai KBBI: abaikan = tidak peduli).
  3. عِلْمِ الْأَدَبِ diterjemahkan menjadi “ilmu sastra” (sesuai KBBI: sastra = karya seni dengan bahasa indah).
  4. تَرْوِيَ diterjemahkan menjadi “menghafal” (sesuai KBBI: hafal = mengingat dengan baik).
  5. الشَّاهِدَ diterjemahkan menjadi “syair” (sesuai KBBI: syair = puisi lama).
  6. الْمَثَلَ diterjemahkan menjadi “peribahasa” (sesuai KBBI: peribahasa = kalimat ringkas yang mengandung makna).


وَكَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِسْحَاقَ الْقَاضِي يَرْوِي عَنْ جَدِّهِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا مُسْلِمٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ الْإِمَامَ إِبْرَاهِيمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ: يَكْفِي مِنْ حَظِّ الْبَلَاغَةِ أَنْ لَا يُؤْتَى السَّامِعُ مِنْ سُوءِ إِفْهَامِ النَّاطِقِ، وَلَا يُؤْتَى النَّاطِقُ مِنْ سُوءِ فَهْمِ السَّامِعِ
قَالَ أَبُو عُثْمَانَ: أَمَّا أَنَا فَأَسْتَحْسِنُ هَذَا الْقَوْلَ جِدًّا



Dan Abdurrahman bin Ishaq, seorang hakim, meriwayatkan dari kakeknya, Ibrahim bin Salamah, ia berkata, “Aku mendengar Abu Muslim berkata, ‘Aku mendengar Imam Ibrahim bin Muhammad berkata, “Cukuplah sebagai bagian dari keberhasilan balaghah (kefasihan) jika pendengar tidak dirugikan oleh buruknya penyampaian pembicara, dan pembicara tidak dirugikan oleh buruknya pemahaman pendengar.”‘”

Abu Utsman berkata, “Adapun aku, aku sangat menyukai ucapan ini.”


  1. الْقَاضِي diterjemahkan menjadi “hakim” (sesuai KBBI: hakim = orang yang berwenang memutuskan perkara).
  2. يَرْوِي diterjemahkan menjadi “meriwayatkan” (sesuai KBBI: riwayat = cerita yang disampaikan).
  3. حَظِّ الْبَلَاغَةِ diterjemahkan menjadi “keberhasilan balaghah (kefasihan)” (sesuai KBBI: kefasihan = kemampuan berbicara dengan jelas dan lancar).
  4. سُوءِ إِفْهَامِ diterjemahkan menjadi “buruknya penyampaian” (sesuai KBBI: buruk = tidak baik; penyampaian = proses menyampaikan sesuatu).
  5. سُوءِ فَهْمِ diterjemahkan menjadi “buruknya pemahaman” (sesuai KBBI: pemahaman = proses memahami sesuatu).
  6. أَسْتَحْسِنُ diterjemahkan menjadi “menyukai” (sesuai KBBI: suka = merasa senang atau tertarik).
  7. جِدًّا diterjemahkan menjadi “sangat” (sesuai KBBI: sangat = amat atau sekali).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *